oleh:Lesminingtyas----
tinggal di Mbogor kerja CCF Jkt-----
Sabtu minggu lalu ribuan siswa di Bogor menerima raport kenaikan kelas.
Sebagian siswa dari keluarga yang cukup berada bersama orang tuanya
mengendarai mobil mereka menuju ke sekolah. Ratusan atau bahkan ribuan
siswa bersama orang tuanya membanjiri jalan-jalan raya. Saya dan anak
saya bagaikan ikan kecil di tengah-tengah lautan manusia yang berebut
naik angkot. Suasana jalan menjadi macet. Kemacetan semakin parah ketika
kami berdua sampai di dekat Istana Bogor. Angkot-angkot yang penuh
penumpang harus berebut jalan dengan mobil-mobil mewah yang hendak masuk ke
halaman sekolah Regina Pacis dan Sekolah Budi Mulia yang ada di kawasan
tersebut.
Karena SD Budi Mulia, tempat anak saya bersekolah cukup bonafide,
banyak teman sekelas anak saya yang diantar oleh orang tuanya dengan
mobil-mobil bermerek keluaran tahun terakhir. Sedangkan saya yang
berpenghasilan sedang-sedang saja, cukup naik angkot saja.
Saya tidak tahu apa yang dipikirkan anak saya. Walaupun ia naik ke
kelas 6 dengan nilai raport yang meningkat, tapi ia tampak murung. Setelah
menerima raport dan menyelesaikan beberapa urusan administrasi, kami
berdua keluar dari komplek sekolah elit itu. Kami berdua naik becak
menyusuri Taman Topi, ke arah Pasar Anyar, tempat angkot 08 ngetem menunggu
penumpang. Anak saya bersungut-sungut, katanya “Uh..sebel, kenapa sih
kita nggak beli mobil saja, biar nggak susah-susah naik becakâ€
Saya menjadi sedikit tahu apa yang sedang dipikirkan anak saya.
“Supaya kamu dapat bersyukur, kamu jangan membayangkan sedang berada
di dalam mobil empuk yang ber AC. Coba bayangkan, seandainya kamu yang
ada di bagian belakang becak ini, harus menggenjot becak di tengah
terik matahari demi mendapatkan uang 2.000 perak. Kita seharusnya
bersyukur, karena kita bisa naik becak tanpa harus bersusah payah menggenjot,
apalagi menggenjot untuk orang lain, seperti yang dilakukan tukang becak
itu “ jawab saya.
Sebelum naik angkot 08 Jurusan Pasar Anyar – Cibinong, saya
mengeluarkan selembar uang ribuan untuk membeli dua gelas air kemasan dari merek
yang tidak terkenal yang dijajakan oleh pedagang cilik. Rasanya
cessssss…..dingin dan segar. Dan sayapun bersyukur karena masih bisa
menikmati kesegaran air seharga gopek itu.
“Kamu harus bersyukur, karena saat panas-panas seperti ini, kamu
dapat menikmati air dengan cuma-cuma, tanpa harus berjualan seperti anak
itu†saya berusaha menasehati walaupun anak saya tak menaruh minat pada
pembicaraan saya. Selama dalam perjalanan, anak saya terus berdiam
diri.
Ketika angkot yang kami tumpangi menyusuri Jl. Raya Bogor, jalanan
menjadi begitu macet. Anak saya semakin menunjukkan kekesalan. “Maap
Mas, bukannya saya pengin tahu. Tapi ini maap, sekali lagi maap, kalau
dimaapkan saya mau bertanya kira-kira Mas ini sedang memikirkan apa ya
?†tanya saya menirukan gaya mpok Minah yang ada di serial Bajaj
Bajuri, berusaha menggoda anak saya supaya tidak manyun.
“Ah, sebel ! Nggak enak naik angkot, macet lagi ! Enak dong kayak
teman-teman, ke sekolah diantar pakai mobil†jawab anak saya ketus.
Dalam keadaan lelah, lapar dan haus seperti itu alangkah tidak
bijaksananya kalau saya berceramah tentang pentingnya bersyukur. Apa lagi
suasana panas dan macet sehingga angkot yang kami tumpangi hampir tak
bergerak, terhalang oleh puluhan angkot yang ngetem menunggu ratusan buruh
perempuan keluar dari pabrik konveksi. Jadi saya memutuskan untuk diam.
Sejenak kemudian terdengar bunyi “ecek-ecek†dari beberapa tutup
softdrink yang terpaku di kayu kecil, di tangan seorang pengamen kecil.
Pengamen amatiran yang masih mengenakan celana merah; seragam SD dan
sepotong kaos kumal dan tanpa alas kaki itu berusaha masuk dan jongkok di
angkot yang kami tumpangi. Tangannya yang kurus berusaha
menggerak-gerakkan “alat musikâ€nya sekedar untuk mengiringi nyanyian sumbangnya.
Suara “ecek-ecek†yang tidak pas dengan tempo lagu yang dia
bawakan, ditambah lagi dengan suara parau dan intonasi yang tidak jelas, serta
pitch control yang ancur-ancuran membuat kami berdua terganggu. Tapi
karena pengamen kecil yang hampir buta nada itu berusaha mati-matian
membawakan lagu “Menuju Puncak†yang biasa dinyanyikan oleh Tia, Haikal
dan teman-temannya di Indosiar, maka kami balik tersenyum dan mungkin
lebih tepat disebut mentertawakan.
“Bagaimana komentar Mas Hari Rusli ?†saya meniru gaya Adi Nugroho,
berusaha menggoda anak saya yang mulai tersenyum-senyum juga.
“Pemirsa di angkot, jangan sampai lupa ya…., ketik AFI spasi Ujang. U je a
en ge dan kirim sms sebanyak-banyaknya !†saya terus berusaha
menggoda anak saya.
“Itu mah, akademia yang dieleminasi tanpa koper ! †jawab anak saya
dalam logat Sunda yang kental.
Tapi biar bagaimanapun performance siang itu, saya memberikan beberapa
keping uang recehan ke dalam kantong bekas pewangi pakaian yang baunya
sudah tak wangi lagi sebagai tanda belas kasihan saya untuk pengamen
cilik itu. Saat pengamen kecil itu melompat keluar dari angkot, kami
melihat dengan jelas koreng yang menganga di punggungnya yang dibalut
dengan kaos usang yang sudah tidak utuh lagi.
“Kamu harusnya bersyukur karena kamu tidak perlu bersusah payah
mencari uang jajan sendiri. Kamu juga harus bersyukur karena kamu punya
pakaian yang utuh, sepatu yang utuh dan paling penting kamu punya orang tua
yang tidak akan membiarkan anaknya terluka†Saya menggunakan moment
itu untuk mengingatkan anak saya tentang perlunya mensyukuri sekecil
apapun berkat yang telah kita terima.
Turun dari angkot kami masih harus naik ojek menuju rumah kami yang ada
di komplek RSSSS (Rumah Sempit Sumpek Sangat Sederhana) yang kami cicil
dengan fasilitas KPR. “Sebel, kenapa sih kita beli rumah di kampung
yang udik†lagi-lagi anak saya mengeluh.
“Kita harus bersyukur. Walaupun tinggal di udik, kita bisa hidup
tenang. Dari pada kita tinggal di Jakarta tapi kita tergusur atau harus
bersusah payah membuat gubuk di kolong jembatan†saya masih tetap
berusaha menasehati anak saya.
Saat ojek yang kami tumpangi melewati jalan yang berair karena ada
saluran PAM yang bocor, tiba-tiba tetangga kami yang kebetulan punya
jabatan di sebuah bank swasta, dengan mobil barunya berusaha mendahului
dan………….â€crat !†kami bertiga (saya, anak saya dan tukang ojek)
terguyur air yang sudah bercampur dengan lumpur kecoklatan.
“Hu uh !†anak saya spontan mengeluh. Sayapun hampir saja
mengumpat. Tapi saya berusaha menahan diri karena saya pikir umpatan saya tidak
bakal bisa merubah keadaan. Selain itu saya merasa perlu menjaga diri,
menjaga emosi dan menjaga mulut karena di depan anak-anak saya berperan
sebagai guru Kasih yang harus pandai bersyukur setiap saat dan dalam
setiap keadaan, baik yang suka maupun duka.
“Kenapa sih, sudah tahu kalau salah, membuat orang menderita tetapi
tetap tidak meminta maaf ?†anak saya mempertanyakan sikap arogan
tetangga kami.
“Sudahlah, permintaan maaf tetangga kita tidak akan merubah keadaan
kita. Biarkan saja! Kita harus mengampuni orang tanpa harus menunggu
orang itu meminta maaf kepada kita, maka Tuhan akan menggantikan kekesalan
kita dengan suka citaâ€
Sesampainya di rumah, saya tidak memaksakan diri untuk mengajarkan
Kasih dan ucapan syukur. Saya pikir “pengajaran†saya akan lebih
efektif kalau saya mempersiapkannya dengan kata-kata yang tepat dan
menyampaikannya pada waktu yang tepat. Saya pikir saya akan mengambil waktu
sebelum tidur nanti malam. Tapi sungguh tidak disangka, saat kami hendak
makan, anak saya kembali membuka pembicaraan. Kebetulan bibi, pembantu
rumah kami hari itu memasak sayur lodeh, sambal terasi dan ikan asin.
Walaupun makanan itu merupakan menu favorit keluarga kami, tapi anak saya
sering menyebut menu tersebut tidak “populerâ€
“Lodeh lagi, lodeh lagi !†keluh anak saya. Belum sempat saya untuk
kembali menasehati, anak saya mengajukan pertanyaan yang sulit saya
jawab.
“Kenapa sih kita nggak kaya ?â€
Sambil kebingungan mencari-cari jawaban yang tepat, saya menjawab
sekenanya yang penting menenangkan. “Kita bisa makan tiga kali sehari
saja, sudah bagus. Dan kita harus bersyukur karena tidak semua orang bisa
merasakan makanan seperti kitaâ€
“Tapi kenapa kita tidak bisa punya mobil yang bagus, rumah bertingkat
dan punya duit yang banyak untuk jalan-jalan ke luar negeri ? Kenapa
sih kita nggak kaya seperti Pak Haji yang punya toko itu, biar kita bisa
bebas makan jajanan tanpa harus membeli ?†tanya anak saya
seakan-akan memprotes keadaan ini. Saya tidak bisa dan tidak berminat menjawab.
Saya hanya menarik nafas dalam-dalam sekedar untuk meredam rasa marah
dan jengkel karena sikap anak saya yang tidak pandai bersyukur.
Karena tidak mendapatkan jawaban, anak sayapun mencoba menjawab sendiri
pertanyaannya dengan berkata “O..iya-ya…setiap hari kita kan hanya
berdoa minta makanan secukupnya, bukan meminta kekayaan yang
berlimpah-limpah†Rupanya anak saya menggunakan Doa Bapa Kami sebagai
referensi. Saya kaget sekali, tidak menyangka doa yang setiap hari diucapkan dan
telah menjadi rutinitas sejak ia berusia 3 tahun ternyata bisa menolong
kami mendapatkan jawaban mengapa hidup kami hanya berkecukupan, tidak
berkelimpahan, apalagi bermewah-mewahan. Sayapun tersenyum lega dan
mengiyakan kata-kata anak saya yang sangat bijak dengan berkata
“Nah, ini baru anak pintar. Coba kamu ingat nggak, ada tulisan apa di
hiasan dinding yang tergantung di kamarmu ?â€
“Lebih baik sedikit barang dengan disertai takut akan Tuhan, dari
pada banyak harta dengan disertai kecemasan†jawab anak saya dengan gaya
hafalan anak-anak Sekolah Minggu.
“Terus, yang tergantung di ruang ini (red :ruang makan) ?†saya
bertanya sambil menutup mata anak saya untuk mencoba mengetesnya.
“Lebih baik sepiring sayur dengan Kasih, dari pada lembu tambun
dengan kebencianâ€
“Terus, ada tulisan apa lagi di bawahnya ?†saya mencoba menguji
daya ingat anak saya
“Amsal 15 ayat 17, Bu……..!†teriak anak saya seperti layaknya
seorang murid menjawab pertanyaan gurunya.
Saya baru sadar bahwa dalam Kitab Amsal 30 ayat 7-9 Raja Salomo atau
yang oleh kebanyakan orang disebut Nabi Sulaiman menulis demikian :
“Dua hal yang aku mohon kepadaMu, jangan itu Kautolak sebelum aku
mati, yakni : Jauhkanlah dari padaku kecurangan dan kebohongan. Jangan
berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati
makanan yang menjadi bagianku. Supaya kalau aku kenyang, aku tidak
menyangkalMu dan berkata siapa Tuhan itu ? Atau, kalau aku miskin, aku akan
mencuri, dan mencemarkan nama Allahku
Sebab di sini kita tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap; kita mencari kota yang akan datang.(Ibrani 13:14)
tinggal di Mbogor kerja CCF Jkt-----
Sabtu minggu lalu ribuan siswa di Bogor menerima raport kenaikan kelas.
Sebagian siswa dari keluarga yang cukup berada bersama orang tuanya
mengendarai mobil mereka menuju ke sekolah. Ratusan atau bahkan ribuan
siswa bersama orang tuanya membanjiri jalan-jalan raya. Saya dan anak
saya bagaikan ikan kecil di tengah-tengah lautan manusia yang berebut
naik angkot. Suasana jalan menjadi macet. Kemacetan semakin parah ketika
kami berdua sampai di dekat Istana Bogor. Angkot-angkot yang penuh
penumpang harus berebut jalan dengan mobil-mobil mewah yang hendak masuk ke
halaman sekolah Regina Pacis dan Sekolah Budi Mulia yang ada di kawasan
tersebut.
Karena SD Budi Mulia, tempat anak saya bersekolah cukup bonafide,
banyak teman sekelas anak saya yang diantar oleh orang tuanya dengan
mobil-mobil bermerek keluaran tahun terakhir. Sedangkan saya yang
berpenghasilan sedang-sedang saja, cukup naik angkot saja.
Saya tidak tahu apa yang dipikirkan anak saya. Walaupun ia naik ke
kelas 6 dengan nilai raport yang meningkat, tapi ia tampak murung. Setelah
menerima raport dan menyelesaikan beberapa urusan administrasi, kami
berdua keluar dari komplek sekolah elit itu. Kami berdua naik becak
menyusuri Taman Topi, ke arah Pasar Anyar, tempat angkot 08 ngetem menunggu
penumpang. Anak saya bersungut-sungut, katanya “Uh..sebel, kenapa sih
kita nggak beli mobil saja, biar nggak susah-susah naik becakâ€
Saya menjadi sedikit tahu apa yang sedang dipikirkan anak saya.
“Supaya kamu dapat bersyukur, kamu jangan membayangkan sedang berada
di dalam mobil empuk yang ber AC. Coba bayangkan, seandainya kamu yang
ada di bagian belakang becak ini, harus menggenjot becak di tengah
terik matahari demi mendapatkan uang 2.000 perak. Kita seharusnya
bersyukur, karena kita bisa naik becak tanpa harus bersusah payah menggenjot,
apalagi menggenjot untuk orang lain, seperti yang dilakukan tukang becak
itu “ jawab saya.
Sebelum naik angkot 08 Jurusan Pasar Anyar – Cibinong, saya
mengeluarkan selembar uang ribuan untuk membeli dua gelas air kemasan dari merek
yang tidak terkenal yang dijajakan oleh pedagang cilik. Rasanya
cessssss…..dingin dan segar. Dan sayapun bersyukur karena masih bisa
menikmati kesegaran air seharga gopek itu.
“Kamu harus bersyukur, karena saat panas-panas seperti ini, kamu
dapat menikmati air dengan cuma-cuma, tanpa harus berjualan seperti anak
itu†saya berusaha menasehati walaupun anak saya tak menaruh minat pada
pembicaraan saya. Selama dalam perjalanan, anak saya terus berdiam
diri.
Ketika angkot yang kami tumpangi menyusuri Jl. Raya Bogor, jalanan
menjadi begitu macet. Anak saya semakin menunjukkan kekesalan. “Maap
Mas, bukannya saya pengin tahu. Tapi ini maap, sekali lagi maap, kalau
dimaapkan saya mau bertanya kira-kira Mas ini sedang memikirkan apa ya
?†tanya saya menirukan gaya mpok Minah yang ada di serial Bajaj
Bajuri, berusaha menggoda anak saya supaya tidak manyun.
“Ah, sebel ! Nggak enak naik angkot, macet lagi ! Enak dong kayak
teman-teman, ke sekolah diantar pakai mobil†jawab anak saya ketus.
Dalam keadaan lelah, lapar dan haus seperti itu alangkah tidak
bijaksananya kalau saya berceramah tentang pentingnya bersyukur. Apa lagi
suasana panas dan macet sehingga angkot yang kami tumpangi hampir tak
bergerak, terhalang oleh puluhan angkot yang ngetem menunggu ratusan buruh
perempuan keluar dari pabrik konveksi. Jadi saya memutuskan untuk diam.
Sejenak kemudian terdengar bunyi “ecek-ecek†dari beberapa tutup
softdrink yang terpaku di kayu kecil, di tangan seorang pengamen kecil.
Pengamen amatiran yang masih mengenakan celana merah; seragam SD dan
sepotong kaos kumal dan tanpa alas kaki itu berusaha masuk dan jongkok di
angkot yang kami tumpangi. Tangannya yang kurus berusaha
menggerak-gerakkan “alat musikâ€nya sekedar untuk mengiringi nyanyian sumbangnya.
Suara “ecek-ecek†yang tidak pas dengan tempo lagu yang dia
bawakan, ditambah lagi dengan suara parau dan intonasi yang tidak jelas, serta
pitch control yang ancur-ancuran membuat kami berdua terganggu. Tapi
karena pengamen kecil yang hampir buta nada itu berusaha mati-matian
membawakan lagu “Menuju Puncak†yang biasa dinyanyikan oleh Tia, Haikal
dan teman-temannya di Indosiar, maka kami balik tersenyum dan mungkin
lebih tepat disebut mentertawakan.
“Bagaimana komentar Mas Hari Rusli ?†saya meniru gaya Adi Nugroho,
berusaha menggoda anak saya yang mulai tersenyum-senyum juga.
“Pemirsa di angkot, jangan sampai lupa ya…., ketik AFI spasi Ujang. U je a
en ge dan kirim sms sebanyak-banyaknya !†saya terus berusaha
menggoda anak saya.
“Itu mah, akademia yang dieleminasi tanpa koper ! †jawab anak saya
dalam logat Sunda yang kental.
Tapi biar bagaimanapun performance siang itu, saya memberikan beberapa
keping uang recehan ke dalam kantong bekas pewangi pakaian yang baunya
sudah tak wangi lagi sebagai tanda belas kasihan saya untuk pengamen
cilik itu. Saat pengamen kecil itu melompat keluar dari angkot, kami
melihat dengan jelas koreng yang menganga di punggungnya yang dibalut
dengan kaos usang yang sudah tidak utuh lagi.
“Kamu harusnya bersyukur karena kamu tidak perlu bersusah payah
mencari uang jajan sendiri. Kamu juga harus bersyukur karena kamu punya
pakaian yang utuh, sepatu yang utuh dan paling penting kamu punya orang tua
yang tidak akan membiarkan anaknya terluka†Saya menggunakan moment
itu untuk mengingatkan anak saya tentang perlunya mensyukuri sekecil
apapun berkat yang telah kita terima.
Turun dari angkot kami masih harus naik ojek menuju rumah kami yang ada
di komplek RSSSS (Rumah Sempit Sumpek Sangat Sederhana) yang kami cicil
dengan fasilitas KPR. “Sebel, kenapa sih kita beli rumah di kampung
yang udik†lagi-lagi anak saya mengeluh.
“Kita harus bersyukur. Walaupun tinggal di udik, kita bisa hidup
tenang. Dari pada kita tinggal di Jakarta tapi kita tergusur atau harus
bersusah payah membuat gubuk di kolong jembatan†saya masih tetap
berusaha menasehati anak saya.
Saat ojek yang kami tumpangi melewati jalan yang berair karena ada
saluran PAM yang bocor, tiba-tiba tetangga kami yang kebetulan punya
jabatan di sebuah bank swasta, dengan mobil barunya berusaha mendahului
dan………….â€crat !†kami bertiga (saya, anak saya dan tukang ojek)
terguyur air yang sudah bercampur dengan lumpur kecoklatan.
“Hu uh !†anak saya spontan mengeluh. Sayapun hampir saja
mengumpat. Tapi saya berusaha menahan diri karena saya pikir umpatan saya tidak
bakal bisa merubah keadaan. Selain itu saya merasa perlu menjaga diri,
menjaga emosi dan menjaga mulut karena di depan anak-anak saya berperan
sebagai guru Kasih yang harus pandai bersyukur setiap saat dan dalam
setiap keadaan, baik yang suka maupun duka.
“Kenapa sih, sudah tahu kalau salah, membuat orang menderita tetapi
tetap tidak meminta maaf ?†anak saya mempertanyakan sikap arogan
tetangga kami.
“Sudahlah, permintaan maaf tetangga kita tidak akan merubah keadaan
kita. Biarkan saja! Kita harus mengampuni orang tanpa harus menunggu
orang itu meminta maaf kepada kita, maka Tuhan akan menggantikan kekesalan
kita dengan suka citaâ€
Sesampainya di rumah, saya tidak memaksakan diri untuk mengajarkan
Kasih dan ucapan syukur. Saya pikir “pengajaran†saya akan lebih
efektif kalau saya mempersiapkannya dengan kata-kata yang tepat dan
menyampaikannya pada waktu yang tepat. Saya pikir saya akan mengambil waktu
sebelum tidur nanti malam. Tapi sungguh tidak disangka, saat kami hendak
makan, anak saya kembali membuka pembicaraan. Kebetulan bibi, pembantu
rumah kami hari itu memasak sayur lodeh, sambal terasi dan ikan asin.
Walaupun makanan itu merupakan menu favorit keluarga kami, tapi anak saya
sering menyebut menu tersebut tidak “populerâ€
“Lodeh lagi, lodeh lagi !†keluh anak saya. Belum sempat saya untuk
kembali menasehati, anak saya mengajukan pertanyaan yang sulit saya
jawab.
“Kenapa sih kita nggak kaya ?â€
Sambil kebingungan mencari-cari jawaban yang tepat, saya menjawab
sekenanya yang penting menenangkan. “Kita bisa makan tiga kali sehari
saja, sudah bagus. Dan kita harus bersyukur karena tidak semua orang bisa
merasakan makanan seperti kitaâ€
“Tapi kenapa kita tidak bisa punya mobil yang bagus, rumah bertingkat
dan punya duit yang banyak untuk jalan-jalan ke luar negeri ? Kenapa
sih kita nggak kaya seperti Pak Haji yang punya toko itu, biar kita bisa
bebas makan jajanan tanpa harus membeli ?†tanya anak saya
seakan-akan memprotes keadaan ini. Saya tidak bisa dan tidak berminat menjawab.
Saya hanya menarik nafas dalam-dalam sekedar untuk meredam rasa marah
dan jengkel karena sikap anak saya yang tidak pandai bersyukur.
Karena tidak mendapatkan jawaban, anak sayapun mencoba menjawab sendiri
pertanyaannya dengan berkata “O..iya-ya…setiap hari kita kan hanya
berdoa minta makanan secukupnya, bukan meminta kekayaan yang
berlimpah-limpah†Rupanya anak saya menggunakan Doa Bapa Kami sebagai
referensi. Saya kaget sekali, tidak menyangka doa yang setiap hari diucapkan dan
telah menjadi rutinitas sejak ia berusia 3 tahun ternyata bisa menolong
kami mendapatkan jawaban mengapa hidup kami hanya berkecukupan, tidak
berkelimpahan, apalagi bermewah-mewahan. Sayapun tersenyum lega dan
mengiyakan kata-kata anak saya yang sangat bijak dengan berkata
“Nah, ini baru anak pintar. Coba kamu ingat nggak, ada tulisan apa di
hiasan dinding yang tergantung di kamarmu ?â€
“Lebih baik sedikit barang dengan disertai takut akan Tuhan, dari
pada banyak harta dengan disertai kecemasan†jawab anak saya dengan gaya
hafalan anak-anak Sekolah Minggu.
“Terus, yang tergantung di ruang ini (red :ruang makan) ?†saya
bertanya sambil menutup mata anak saya untuk mencoba mengetesnya.
“Lebih baik sepiring sayur dengan Kasih, dari pada lembu tambun
dengan kebencianâ€
“Terus, ada tulisan apa lagi di bawahnya ?†saya mencoba menguji
daya ingat anak saya
“Amsal 15 ayat 17, Bu……..!†teriak anak saya seperti layaknya
seorang murid menjawab pertanyaan gurunya.
Saya baru sadar bahwa dalam Kitab Amsal 30 ayat 7-9 Raja Salomo atau
yang oleh kebanyakan orang disebut Nabi Sulaiman menulis demikian :
“Dua hal yang aku mohon kepadaMu, jangan itu Kautolak sebelum aku
mati, yakni : Jauhkanlah dari padaku kecurangan dan kebohongan. Jangan
berikan kepadaku kemiskinan atau kekayaan. Biarkanlah aku menikmati
makanan yang menjadi bagianku. Supaya kalau aku kenyang, aku tidak
menyangkalMu dan berkata siapa Tuhan itu ? Atau, kalau aku miskin, aku akan
mencuri, dan mencemarkan nama Allahku
Sebab di sini kita tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap; kita mencari kota yang akan datang.(Ibrani 13:14)
Comments