"Bu, kalau sudah gajian nanti, Ibu mau nggak beliin Donat Ayu buat Dika ?
Jangan donat Dika terus, sekali-sekali boleh dong makan donat yang enak"
pinta Dika; anak saya. Saya dan Dika memang menyebut Dunkin Donnut dengan
sebutan "Donat Ayu", untuk membedakan donat murahan yang dijual di pinggir
jalan, yang kami namai "donat Dika".
Setiap menyebut soal donat, kami selalu teringat peristiwa beberapa tahun
yang lalu, ketika Dika berumur belum genap 4 tahun. Waktu itu kami masih
tinggal di rumah kontrakan yang bertetangga dengan seorang direktur
operasional bank swasta terkenal. Tetangga kami itu kebetulan mempunyai
anak perempuan, 1 tahun lebih tua dari Dika, yang bernama Ayu. Anak itu
cantik seperti Mamanya yang kebetulan mengajar di sebuah Perguruan Tinggi
swasta di Bogor.
Keluarga kaya dan terdidik itu tentunya sangat menarik perhatian para
tetangga yang kebanyakan hanya hidup pas-pasan sebagai buruh pabrik garment
atau pegawai rendahan. Mungkin saya dan para tetangga harus mendongakkan
kepala untuk melihat keluarga Ayu yang sering keluar masuk kompleks tempat
tinggal kami dengan mobil keluaran terbarunya.
Anak-anak seumuran Dika yang tinggal di satu gang dengan kami senang
sekali bermain di depan rumah Ayu. Walaupun tidak bisa menyentuh
barang-barang mainan Ayu, anak-anak itu tampaknya sudah cukup kalau bisa
mengintipnya dari luar pagar besi yang sengaja dikunci dari dalam. Dari
luar pagar, anak-anak biasanya melihat Ayu bermain boneka Barbie yang
mahal, robot yang bisa digerakkan dengan remote control, kereta api kecil
yang mengeluarkan asap, atau beberapa mobil balap "tamia" yang
berkejar-kejaran di lintasannya. Keluarga Ayu sengaja tidak membukakan
pintu karena takut kehadiran anak-anak itu akan mengotori rumahnya.
Beberapa kali saya menangkap sorot mata kedua orang tua Ayu yang memandang
bahwa lantai marmer mereka lebih berharga dari pada kaki anak-anak
tetangganya.
Suatu sore, seperti biasa Dika dan beberapa temannya berdiri berjajar di
luar pagar rumah Ayu. Seperti biasa juga, setiap saya pulang dari kantor
saya harus turun dari ojek di depan rumah Ayu. Sore itu selain pandangan
"haus" pada alat-alat permainan Ayu yang serba mahal dan mewah, anak-anak
seperti tak kuasa menahan air liurnya yang hampir menetes. Sejenak
kemudian, saya mendengar Ayu dari dalam pagar berkata "Wuek?.Ayu punya
Dunkin Donnat banyak nih !" Ayu memamerkan donatnya sambil mencibir.
Walaupun tidak mengeluarkan suara, anak-anak itu menjulurkan tanganya ke
dalam pagar, memohon supaya Ayu membagikan donatnya. Ayu tidak bergeming,
justru semakin terang-terangan mempermainkan teman-temannya "Wuek?wuek??!"
kata Ayu sambil melenggak lenggokkan badannya.
"Mbak Ayu pelit !" kata Dika. Saya hanya mengangkat telunjuk ke dekat
mulut saya sebagai isyarat bahwa saya tidak setuju dengan perkataan Dika.
"Biarin, wuek, wuek?! Kalau lu mau, ambil saja !" kata Ayu sambil menggeser
piring donatnya menjauhi pagar supaya tidak terjangkau anak-anak.
"Dika, ayo pulang sama Ibu" ajak saya sekaligus ingin mengakhiri
pemandangan memilukan itu.
Mendengar suara saya, Mama Ayupun keluar dan menegur Ayu "Ayu, masuk?kamu
cuma punya donat satu saja, dipamer-pamerkan !"
"Ye?.Mama bohong ! Kita kan punya donat 3 kardus di kulkas" jawab Ayu. Mama
Ayu hanya bisa membuang muka supaya saya tidak melihat wajahnya yang merah
padam karena malu. Saya tidak merasa terganggu melihat keangkuhan Mama Ayu.
Saya justru kasihan, karena dosen yang cantik itu ternyata tidak bisa
menjadi dosen bagi anaknya sendiri. Dosen itu telah merusak mental anaknya
dengan mengajarkan kebohongan dan ketidakpedulian, hanya karena takut
kehilangan beberapa potong donat saja. Hanya gara-gara materi yang tidak
seberapa nilainya, Mama Ayu telah menanamkan "bom waktu" yang bisa membawa
dampak buruk yang luar biasa pada sikap mental anaknya.
"Dika, ayo pulang ! Kasih dadah untuk Mbak Ayu" kata saya mengajak Dika
pulang. Dika menggandeng tangan saya sambil terdiam. Karena tidak mau
berpamitan, sayapun mewakili Dika "Dadah Mbak Ayu.......Dadah Mamanya Mbak
Ayu?Dika mau pulang dulu" kata saya sambil menggerak-gerakkan tangan Dika
ke arah Ayu dan Mamanya..
Anak-anak yang semula bagaikan pengemis-pengemis kecil itupun pulang ke
rumah masing-masing dengan muka masam. Saya tahu, sesampai di rumah, Dika
pasti akan ngambek karena keinginannya untuk mencicipi donat tidak
terpenuhi. Sebenarnya mudah saja, saya tinggal membelikan donat untuk Dika
dan selesai. Tetapi saya tidak mau memperlakukan Dika sehingga begitu
mudahnya bisa memuaskan keinginannya. Kesempatan itu justru saya gunakan
untuk melatih Dika bagaimana dia harus mengendalikan diri dan belajar
menuda pemenuhan keinginannya.
Cukup lama saya memberi pengertian kepada Dika, bahwa dalam hidup ini apa
yang kita inginkan belum tentu dapat dicapai. Sayapun berjanji "Kalau Dika
bisa menahan keinginan untuk makan donat sampai hari Minggu nanti, Ibu
janji akan membelikan Dika donat yang banyak supaya bisa dimakan bersama
teman-teman Dika"
"Suer ?" tanya Dika ingin kepastian.
"Ibu janji, tapi nggak usah pakai suer-suer-an segala !" jawab saya tegas
"Tapi ingat, ada syaratnya" lanjut saya
"Syaratnya apa ?" tanya Dika penasaran
"Ibu hanya akan membelikan donat, kalau Dika bisa menghafal ayat-ayat emas
yang ditugaskan oleh guru Sekolah Minggu" kata saya
"Yes !" jawab Dika antusias.
Lima hari berselang, tibalah saatnya saya dan Dika saling memenuhi janji
kami masing-masing. Sebelum pergi ke Sekolah Minggu, Dika sudah yakin
sekali kalau dia akan mendapatkan hadiah donat yang saya janjikan. Saat
berjalan menyusuri gang, Dika selalu mengundang teman-teman yang ditemuinya
"Nanti siang sepulang Dika dari gereja, kamu main ke rumahku, ya ! Ntar
aku kasih donat dech !" begitu kata Dika setiap ketemu temannya. Saya agak
grogi juga karena sudah lebih dari 10 anak yang Dika undang, sedangkan uang
di dompet saya mepet sekali.
Sejak awal kebaktian, saya selalu berdoa "Tuhan, bermukjizatlah supaya uang
saya ditambahkan sehingga cukup untuk membeli donat untuk Dika dan
teman-temannya" Saya membawa doa sambil menangis dalam hati. Saya
benar-benar mengharapkan mukjizat Tuhan. Saya berharap Tuhan menggerakkan
hati teman-teman gereja saya yang belum melunasi uang pembelian buku
(dagangan saya?waktu itu). Tetapi saya hampir putus harapan karena setelah
kebaktian usai, mukjizat yang saya harap tidak terjadi. Teman-teman saya
hanya menyalami saya sambil berkata "Selamat Hari Minggu, sorry ya, baru
bisa melunasi uang nanti akhir bulan" Saya yang selama hidup pantang untuk
menagih utang hanya bisa memaksakan diri untuk tersenyum, walau hati saya
semakin ciut dan terus memohon "Tuhan, tolong supaya saya tidak ingkar
janji !"
Begitu saya keluar dari gereja, Dika sudah berdiri menunggu di gerbang
gereja sambil berteriak bangga "Ibu, Dika dapat hadiah ini karena hafalan
ayat emasnya benar" seru Dika kegirangan sambil menunjukkan bookmark
bertuliskan ayat-ayat emas. Saya berusaha tersenyum bangga sambil
mengacungkan ibu jari saya untuk Dika. Saya berusaha tersenyum di depan
Dika, walaupun hati saya semakin cemas, karena tidak mendapatkan uang
tambahan untuk membeli donat yang sudah saya janjikan.
Begitu keluar dari gerbang gereja saya kaget sekali karena trotoar yang
biasa dipakai mangkal tukang kue ape, pagi itu ditempati oleh penjual donat
goreng. Saya sungguh tidak menyangka karena selama saya berjemaat di gereja
itu, baru kali itu melihat gerobak donat goreng. Sayapun menawarkan kepada
Dika "Dika mau pilih Dunkin Donnut seperti punya Mbak Ayu tetapi cuma 6,
atau donat ini tapi dapat 30 biji ?" kata saya sambil berharap Dika mau
memilih donat yang harganya Rp. 200/biji (waktu itu). Setelah Dika
menghitung jumlah teman-teman yang telah diundang, Dikapun memutuskan untuk
membeli donat goreng bertabur bubuk gula itu. Sejak saat itu Dika menyebut
donat semacam itu dengan nama donat Dika.
Begitu kami turun dari ojek di mulut gang tempat tinggal kami, anak-anak
yang semula berdiri berjajar di luar pagar rumah Ayu, beramai-ramai
menyambut Dika. "Sok, ka bumina Dika! Dika boga donat" kata Adi dengan
logat Sunda yang kental, yang mengajak teman-temannya ke rumah Dika karena
Dika punya Donat."Dika mah, bageur teu koret !" masih dalam Bahasa Sunda
Adi mengatakan bahwa Dika anaknya baik, tidak pelit.
Melihat anak-anak mengikuti saya dan Dika, tanpa sepengetahuan orang-orang
di rumahnya, Ayupun lari menyusul kami. Saat anak-anak masuk ke rumah kami,
Ayu masih tetap berdiri di depan pintu seakan-akan bukan termasuk kelompok
anak-anak itu. Sayapun segera menyuruh Dika "Ka, Mbak Ayu ajakin masuk gih
!"
"Nggak usah ! Kemarin saja dia pelit, tidak mau membagi donatnya. Kalau
kita main ke rumahnya, dia cepat-cepat menutup pagarnya. Sekarang biar saja
dia di luar terus kita tutup pintu kita, biar dia kapok !" kata Dika
memuntahkan dendamnya.
"Hush?..sebagai anak Tuhan, Dika tidak boleh bersikap seperti itu" kata
saya tegas. Kali ini saya tidak menunggu persetujuan Dika untuk
mempersilakan Ayu masuk "Sini Mbak Ayu masuk ! Tapi rumah Dika jelek, nggak
bagus kayak rumah Mbak Ayu !" ajak saya sambil menuntun tangan Ayu.
Sambil menunggu bibi (pembantu) menata donat di piring besar, saya menarik
Dika ke dalam kamar. "Dika, Ibu hanya ingin Dika menjadi anak yang baik.
Ibu ingin Dika bisa memperlakukan semua orang dengan baik. Dika juga harus
bisa membalas kejahatan dengan kebaikan" saya berusaha menasehati. Tetapi
tidak mudah bagi Dika untuk melupakan sikap Ayu. Sorot mata kebencian masih
saja terpancar di wajah Dika.
Saat saya kehabisan akal untuk menasehati Dika, saya tahu apa yang harus
saya lakukan untuk menakhlukkan jagoan kecil saya itu. Biasaya Dika tidak
berkutik lagi kalau saya sudah membuka Alkitab untuknya. Sayapun langsung
membacakan Amzal 25 : 21 -22 yang berbunyi "Jikalau seterumu lapar, berilah
dia makan roti, dan jikalau ia dahaga, berilah dia minum air. Karena engkau
akan menimbun bara di atas kepalanya, dan Tuhan akan membalaskan itu
kepadamu".Semula saya pikir ayat itu bisa melunturkan kebencian Dika,
tetapi ternyata Dika masih berusaha membantah "Tetapi Mbak Ayu kan orang
kaya. Dia tidak lapar dan tidak haus, kenapa harus kita beri donat ?"
Sayapun membuka Lukas 6 : 27-36 dan membacakannya kalimat demi kalimat
demikian : "Tetapi kepada kamu yang mendengarkan Aku, Aku berkata :
Kasihilah musuhmu, berbuatlah baik kepada orang yang membenci kamu;
mintalah berkat bagi orang yang mengutuk kamu; berdoalah bagi yang mencaci
kamu. Barang siapa menampar pipimu yang satu, berikanlah juga kepadanya
pipimu yang lain, dan barangsiapa yang mengambil jubahmu, biarkan juga ia
mengambil bajumu. Berilah kepada setiap orang yang meminta kepadamu; dan
jangalah meminta kembali kepada orang yang mengambil kepunyaanmu. Dan
sebagaimana kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah juga
demikian kepada mereka. Dan jikalau kamu mengasihi orang yang mengasihi
kamu, apakah jasamu ? Karena orang-orang berdosapun mengasihi juga
orang-orang yang mengasihi mereka. Sebab jikalau kamu berbuat baik kepada
orang yang berbuat baik kepada kamu, apakah jasamu ? Orang-orang
berdosapun berbuat demikian. Dan jikalau kamu meminjamkan sesuatu kepada
orang, karena kamu berharap akan menerima sesuatu dari padanya, apakah
jasamu ? Orang-orang berdosapun meminjamkan kepada orang-orang berdosa,
supaya mereka menerima kembali sama banyak. Tetapi kamu, KASIHILAH
MUSUHMU" Saya memberi tekanan yang kuat pada dua kata terakhir itu.
"Dan berbuatlah baik kepada mereka dan pinjamkan dengan tidak mengharapkan
balasan, maka upahmu akan besar dan kamu akan menjadi anak-anak Allah Yang
Mahatinggi sebab Ia baik terhadap orang-orang yang tidak tahu berterima
kasih dan terhadap orang-orang jahat. Hendaklah kamu MURAH HATI, sama
seperti Bapamu adalah murah hati" saya menyelesaikan pembacaan ayat-ayat
itu dengan memberi tekanan yang kuat pada kata murah hati.
Walaupun sorot mata kebenciannya sudah agak meredup, perasaan dingin masih
tetap menghiasi wajah Dika. "Tapi Mbak Ayu kan bukan orang Kristen, kenapa
Dika harus memperlakukan Mbak Ayu seperti yang Tuhan Yesus ajarkan?" tanya
Dika belum mengerti.
"Alkitab memang tidak menuntut orang-orang yang bukan pengikut Kristus
untuk tunduk mengikutinya. Tetapi sebagai anak Tuhan, kita harus tunduk
pada Firman Tuhan dan mengasihi semua orang, baik untuk orang yang percaya
kepada Tuhan Yesus, maupun orang-orang yang tidak percaya" saya berusaha
menjelaskan.
Karena minat Dika untuk berbuat baik kepada Ayu belum juga muncul, sayapun
berkata "Kalau Dika belum mau memaafkan Mbak Ayu, Dika tidak usah keluar
dulu. Dika coba baca Lukas 6 ayat 27-36 ini berulang-ulang, sampai Dika
merasa lega dan rela untuk membagikan donat kepada Mbak Ayu. Kalau nanti
Dika sudah ingin sekali berbaikan sama Mbak Ayu, Dika baru boleh keluar"
kata saya sambil meninggalkan Dika dengan Alkitab yang tetap terbuka.
Beberapa menit kemudian, Dika keluar dan langsung mengulurkan tangan untuk
meminta maaf kepada Ayu. Sayapun mencium Dika dengan bangga, sambil
berbisik "Karena hari ini kamu hebat, besok kalau Ibu sudah gajian kamu
boleh minta donat seperti yang Mbak Ayu makan kemarin" saya menghargai
kemenangan jiwa Dika yang telah mengalahkan kebencian dan nafsu balas
dendamnya.
Sikap Mama Ayu sebenarnya merupakan hal yang biasa di dunia ini, tetapi
tidak demikian seharusnya untuk anak-anak Tuhan. Saya teringat waktu kuliah
di UKSW dulu. Waktu itu saya ditugaskan oleh Panitia Paskah untuk meminta
sumbangan di perumahan dosen UKSW. Ketika saya mengetok pintu rumah seorang
dosen mata kuliah Agama dan Etika Kristen (NB : dosen tsb berarti seorang
Theolog), saya hanya disambut dengan kata-kata "Maaf Dik, semua uang
dipegang istri saya dan saat ini istri saya sedang pergi". Belum sempat
saya membalikkan badan, tiba-tiba seorang anak kecil menghambur keluar
sambil berkata "Papa bohong ! Mama khan ada di dapur !"
Walaupun saya tidak mendendam, tetapi saya tidak berminat sama sekali untuk
mengambil mata kuliah dari dosen tsb (saya memilih dosen lain), karena saya
yakin saya tidak bakal bisa mendapatkan nilai A hanya gara-gara saya tidak
simpati, tidak bisa mempercayai kata-katanya lagi, dan saya takut tidak
bisa menyerap ajaran2 yang diberikan.
Comments