Kekaguman saya kepada Guru Sekolah Minggu (GSM) tiada hentinya. Betapa tidak? Pengajaran di Sekolah Minggu (SM) pada Anak Sekolah Minggu (ASM) seringkali begitu melekat sampai ke usia dewasa dan lanjut usia. Banyak orang dewasa yang beriman SM. Para pendeta dan teolog tampaknya kurang sanggup membangun kelanjutan pengajaran GSM dalam mendewasakan iman jemaat.
Sementara kekaguman berlanjut, saya menjadi ambigu; sebab di satu pihak saya pernah menjadi GSM selama 15 tahun karena itu saya ikut bangga, di lain pihak saya menjadi pendeta selama 40 tahun karena itu saya ikut sedih. Saya tak dapat menahan diri untuk tidak ‘mengusik’ rekan-rekan GSM yang saya cintai.
Mereduksi TrinitasDi banyak SM, banyak GSM mengajarkan anak-anak berdoa kepada Yesus atau Tuhan Yesus. Hasil pengajaran ini terus hidup di sana sini termasuk dalam diri penatua dan pendeta. Tradisi berdoa kepada Yesus bukanlah tradisi yang selaras dengan pengakuan iman kita. Dalam membina para penatua mengenai ajaran Trinitas, saya selalu membahas hal itu.
Dalam Pengakuan Iman Atanasius (salah satu pengakuan iman GKI) dikatakan dengan tegas bahwa, “Kita menyembah Allah Yang Maha Esa (itu) dalam ketritunggalan-Nya, dengan tidak mencampurbaurkan Pribadi-pribadi-Nya dan tidak memisah-misahkan hakikat-Nya.” Kegiatan berdoa adalah kegiatan Trinitarian di mana Allah Trituggal itu terlibat. Kita berdoa kepada Allah, Sang Bapa, di dalam nama Yesus Kristus, Anaknya, dan bersama Roh Kudus, yang berdoa bersama kita (Rm. 8:26).
Kebanyakan orang menanggapi pemikiran ini dengan berkata, “Kan Yesus juga Tuhan dan Allah,” jadi apa salahnya berdoa kepada Yesus? Penyederhanaan ini mengabaikan pengajaran Trinitas. Bahwa Yesus juga Tuhan dan Allah memang benar, itulah hakikat-Nya. Namun demikian praktik berdoa yang selalu mengalamatkan doa kepada Yesus adalah kegiatan berdoa yang dapat kita katakan ‘melenyapkan’ Allah Sang Bapa dari doa kita. Lama kelamaan kita tak lagi mempunyai dan mengenal Allah Sang Bapa tersebut.
Hal itu menjadikan doa kita bukan lagi Trinitarian tetapi Binitarian. Berdoa kepada Yesus sekali-sekali dapat diterima, sebab Stefanus martir juga menyerahkan nyawanya kepada Yesus dalam doa (Kis.7:59). Namun membuat Yesus menjadi alamat permanen dalam doa kita, mengkhianati kepercayaan kita akan Allah Tritunggal yang memang sama hakikat-Nya tetapi “tidak mencampurbaurkan Pribadi-pribadi-Nya”.
Yesus Mengajar Berdoa Kepada Allah Sang BapaTradisi berdoa kepada Yesus bukanlah tradisi yang selaras dengan Injil-Injil dan Perjanjian Baru. Yesus tak pernah mengajarkan agar murid-murid berdoa kepada-Nya. Alih-alih Matius mencatat, Yesus mengajarkan, “Karena itu berdoalah demikian: Bapa kami yang di sorga,”(Mat. 6:9). Yesus tidak mengajarkan berdoa kepada diri-Nya, melainkan kepada Bapa di sorga!
Dalam hal meminta sesuatu Yohanes mencatat, Yesus mengajarkan, “Jika kamu meminta sesuatu kepada-Ku dalam nama-Ku, Aku akan melakukannya.” Tekanan kalimat ada pada “dalam nama-Ku” (Yoh.14:14). Lebih lagi Yohanes mencatat, “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu minta kepada Bapa, akan diberikan-Nya kepadamu dalam nama-Ku.” – Yoh.16:23
Rekan-rekan GSM di jemaat saya secara lebih rasional berargumen, “Bagi ASM, Yesus itu sosok yang konkret malahan ada gambarnya, jadi lebih mudah dimengerti ASM.” Betul juga. Namun ini juga PR yang tak terselesaikan seusai mengikuti SM. Orang dewasa masih terus menganggap gambar Yesus yang popular secara global itu sebagai potret diri asli Yesus, padahal itu adalah hasil kreatifitas visualisasi artis Barat.
Makanya, ada persoalan rekam wajah Kain Kafan Turin, yang dianggap lebih mencerminkan gambaran tentang Yesus, walau ini pun bukan potret diri Yesus yang dijamin otentik. Sebuah spekulasi arkeologis. Jadi argumen di atas mesti dipertimbangkan kembali secara teologis, sekalipun dapat dipahami secara pedagogis dan psikologis.
Alamat dan Pengirim yang SamaManakala orang berdoa kepada Yesus (alamat doa), lalu kemudian mengakhirinya dan menyampaikannya dalam nama Yesus, maka jelas terjadi campur baur. Ibarat kata, alamat dan pengirim surat adalah sosok yang sama. Bahkan kurir pos juga akan menjadi bingung.
Judul tulisan ini memakai kata ‘mengusik’ (itupun disertai tanda kutip) dan bukan ‘menggugat’ sebagai dorongan untuk berefleksi ulang atas kebiasaan dan tradisi yang selama ini diterima begitu saja. Perubahan selalu menyakitkan, namun tanpa perubahan terjadi kebekuan. Bukankah ini dapat dikatakan sebagai salah satu kesetiaan kepada Kristus? Oleh sebab itu, jika ada yang tak berkenan, harap maafkan.
April 21, 2017
Penulis: Pdt. Em. Kuntadi Sumadikarya
Penulis: Pdt. Em. Kuntadi Sumadikarya
Comments