Oleh Lesminingtyas
Sinar Harapan, edisi Sabtu, 26 Juni 2004
Keluarga kami bergereja di GKI Bogor. Anak pertama
kami Sekolah Minggu di kelas besar pada jam 07.00,
sedangkan adiknya yang masih batita masuk Sekolah
Minggu, pukul 09.00 WIB. Pemisahan kelas anak-anak
kami membuat kami tidak bisa ke gereja bersama-sama
dan kami bersepakat bahwa sayalah yang kebagian tugas
mengantar anak terbesar ke Sekolah Minggu, sekalian
mengikuti kebaktian jam 07.00 WIB.
Minggu, 13 Juni 2004, kami bangun agak kesiangan. Saya
dan anak saya yang pertama pergi ke gereja begitu
terburu-buru. Biasanya kami naik angkot 08 dari arah
Cibinong turun di Pasar Anyar, kemudian naik becak ke
Jl. Pengadilan. Tetapi karena kami terburu-buru, saya
berusaha memprovokasi bang sopir untuk membelokkan
angkotnya ke Jl. Pengadilan.
Saya sama sekali tidak memperhatikan seorang nenek tua
yang duduk di bangku yang berseberangan dengan kami.
Pikir saya, toh nenek itu tidak protes, berarti dia
setuju juga, apalagi saya lihat nenek tua itu juga
membawa Alkitab sehingga saya berpikir bahwa kami
bertiga sedang menuju ke satu tujuan yang sama.
Turun dari angkot, saya buru-buru masuk ke gereja dan
karena kebaktian sudah dimulai, saya dan nenek tua itu
duduk bersebelahan di bangku paling belakang. Kami
duduk demikian mepetnya sehingga aroma minyak angin
yang dipakai nenek itu benar-benar menyengat hidung
saya.
Nenek itu kebingungan, tapi saya tak menggubrisnya
karena saya harus cepat-cepat berdoa pribadi kemudian
melirik ke jemaat di sebelah kanan saya untuk
mengintip nomor lagu NKB yang sedang dinyanyikan.
Nenek yang ada di sebelah kiri saya bergumam, "Kok
beda, ya?"
Pikirku,"Nenek ini gimana sih? Kayak nggak tahu saja.
Lagu-lagu di NKB memang beda dengan Kidung Jemaat."
Karena nenek itu masih gusar, saya menyodorkan buku
NKB supaya nenek itu bisa ikut menyanyi sambil
kujelaskan,"Iya, sekarang nyanyinya pakai NKB, bukan
Kidung Jemaat".
Tapi walaupun sudah saya tunjukkan baris per baris
lagu yang sedang dinyanyikan, nenek itu mengeluarkan
suara yang berbeda. Dalam hati saya tersenyum,"Wah,
nenek ini kalau ikut AFI bisa langsung dieliminasi,
karena intonasi lagunya nggak jelas, timbrenya
ancur-ancuran dan pitch control lemah sekali."
Saat Pendeta mengajak jemaat membuka Alkitab sebagai
petunjuk hidup baru, nenek di sebelah kiri saya
mengalami kesulitan. Saya berusaha menolong mencari
ayat-ayat yang dimaksud. Begitu selesai menolong nenek
tua itu, saya membuka sendiri Alkitab saya, tapi
begitu ketemu ayatnya, Pendeta telah selesai
membacakannya.
Saat Pendeta meminta kami membuka ayat-ayat yang lain,
nenek pikun itu kembali mengundang perhatian saya
untuk menolongnya. Seperti kejadian pertama, saat saya
menemukan ayat-ayat di Alkitab saya sendiri, saya
sudah ketinggalan karena Pendeta sudah meminta kami
untuk membuka ayat-ayat yang lain lagi. Saya nggak
tahu sudah berapa kali Pendeta meminta kami membuka
Alkitab, tapi tak ada pembacaan satu
ayat pun yang bisa saya ikuti.
Saat Pendeta mengajak jemaat membaca firman sebelum
kotbah, saya berusaha membuka Alkitab saya sendiri
dulu dan setelah ketemu saya menyodorkan Alkitab saya
kepada nenek itu. Maksud saya, biar saya membuka
Alkitab nenek itu pelan-pelan (karena tidak berindeks
dan sudah kusut/kumal). Tapi begitu melihat tulisan di
Alkitab saya, nenek itu minta tolong dicarikan kaca
mata di tasnya.
Setelah kaca mata saya berikan, saya kembali membuka
pelan-pelan Alkitab si nenek. Begitu saya menemukan
ayat-ayat yang dimaksud dan langsung membaca dari
Alkitab si nenek, nenek itupun kembali "berulah". Dia
menutup Alkitab di tanganya dan menyerahkan ke saya
sambil berkata "Ah, susah.tulisannya kecil-kecil" dan
dia pun menarik Alkitabnya sendiri yang masih di
tangan saya. Daripada buka-buka lagi, saya mencoba
untuk nebeng, ikut membaca Alkitab si nenek. Tapi
nenek itu tidak mempedulikan saya dan asyik membaca
Alkitab sendiri, tanpa memberi kesempatan kepada saya
untuk ikut membacanya.
"Maklum sajalah, namanya juga sudah pikun" kataku
dalam hati untuk menghibur diri.
Saat pengumpulan persembahan, nenek itu lagi-lagi
mengalami kesulitan. Ia mengaduk-aduk semua isi
tasnya, tetapi ia tidak menemukan dompetnya dan ia pun
meminta bantuan saya untuk mencarinya.
Karena saya tak menemukan dompetnya, sedangkan petugas
kolektannya sudah hampir sampai di barisan belakang,
saya memberikan amplop uang yang ada di genggaman
saya, kepada nenek itu. Sayapun secepat kilat menarik
selembar uang dari dompet saya.
Melihat tingkah nenek yang sedemikian "ngrepotinnya"
saya malah tersenyum malu. "Wah, mungkin ini cara
Tuhan untuk mengingatkan saya, bahwa persembahan
yang sudah saya siapkan dari rumah itu belum cukup"
Makanya saya hanya tersenyum saat nenek itu
mengucapkan terima kasih, saya pikir ucapan itu tidak
perlu karena berapapun uang yang saya keluarkan pagi
itu, semuanya merupakan persembahan saya untuk Tuhan,
bukan untuk nenek itu.
Setelah kami berdiri untuk doa persembahan, kami
kembali duduk. Nenek itu tampaknya kaget karena merasa
ada benda asing di sekitar perutnya.
"Oh..ternyata di sini," kata nenek itu sambil mencabut
dompet dari balik kain stagennya. Nenek itupun membuka
dompetnya, mengambil beberapa lembar uang ribuan dan
menyodorkannya ke saya. Saya menolaknya karena saya
nggak mau menarik kembali uang yang sudah saya
persembahkan, terlebih lagi saya harus cepat-cepat
berdiri khusuk untuk menerima berkat pengutusan dari
Pendeta.
Selesai kebaktian, saya pikir, "Plong" ..selesailah
tugas saya sebagai babby sitter." Tapi ternyata tidak.
Biasanya begitu selesai saat hening, saya langsung
kabur.cepat-cepat pulang karena harus menyiapkan anak
terkecil saya untuk Sekolah Minggu jam 09.00. Tapi
pagi itu, nenek memaksa saya mengikuti prosesi,
iring-iringan jemaat keluar dari pintu utama untuk
bersalaman dengan Pendeta.
Anak saya yang sudah keluar dari Sekolah Minggu sudah
tidak sabar menunggu di
gerbang gereja. Tapi saya juga tidak bisa buru-buru
meninggalkan nenek itu, karena nenek itu tampak
kebingungan. Katanya "Kok, gerejanya sekarang beda,
gembala sidangnya juga beda, nyanyinya juga beda. Saya
jadi bingung"
Mendengar istilah gembala sidang, saya terkejut. Saya
baru sadar bahwa nenek itu ternyata bukan jemaat GKI
dan sayapun bertanya "Memangnya gereja nenek biasanya
di mana?"
"Ya di sini. Dari rumah biasanya saya naik 08 sampai
mentok. Keluar dari gereja biasanya saya belanja di
Pasar Anyar, tapi sekarang kok pasarnya pindah ya?"
"O...gereja nenek itu Pantekosta yang di Pasar Anyar
ya? Ini GKI nek!"
"O.jadi saya ini kesasar, tho?"
"Sekarang nenek pulangnya mau naik apa?" tanya saya.
"Saya mau pulang ke Pomad, naik angkotnya dari depan
gereja"
"Kalau begitu bareng dengan saya nek, kita sama-sama
naik 08" saya berusaha untuk menolongnya.
"Ah, nggak mau, nanti kesasar lagi! Saya maunya naik
angkot 08 yang dari depan gereja saya"
"Nenek bisa jalan kaki dari sini ke gereja nenek?"
"Wah, nggak tahu! Tolong ya, antarkan saya ke sana
dulu!"
Karena saya sadar telah membuat nenek itu "tersesat",
saya pun bersedia mengantar nenek itu berjalan
kira-kira 800 m ke gerejanya.
Anak sayapun bersungut-sungut. Katanya, "Uh..ngapain
sih kita harus ngurusin orang lain"
Sayapun berusaha menjelaskan bahwa tidak ada gunanya
kita pergi ke gereja, berdoa, dan baca Alkitab kalau
kita tidak mau melakukan sesuatu untuk orang yang
membutuhkan. "Seharusnya kita bersyukur bisa bertemu
dengan nenek ini, karena di rumah kita nggak punya
nenek" bisik saya.
"Hi...geuleuh" kata anak saya dalam bahasa Sunda yang
berarti "jijik".
Seketika itu saya merasa gagal mendidik anak dan saya
hanya bilang,"Tiga puluh tahun lagi mungkin keadaan
ibu lebih pikun dari nenek itu. Mungkin ibu besok
lebih keriput, kumal, dan lebih menyebalkan. Apakah
kamu tega bilang kalau ibu geuleuh? Apakah kamu rela
kalau kelak akan-anak kecil mengatakan ibu geuleuh?
Kalau kamu tidak mau ibu dan kamu sendiri dikatakan
geuleuh jangan sekali-kali kamu melakukannya pada
orang lain." kata saya menasihati.
Ternyata nenek pikun itu telah banyak sekali
memberikan pelajaran buat saya, paling tidak pelajaran
tentang kesabaran, kepedulian, dan keinginan untuk
melayani. Saya juga diingatkan bahwa ternyata masih
banyak sekali pelajaran-pelajaran kasih yang belum
saya ajarkan kepada anak saya.
Mungkin nilai rapor anak saya untuk mata pelajaran
Kasih masih merah, karena saya, ibunya, yang harus
berperan sebagai guru kasih bagi anak-anak belum
lengkap dan tuntas mengajari dan memberi teladan
kepadanya. Maka...Tuhan, ampunilah kami!
penulis adalah pekerja di sebuah NGO internasional
Sinar Harapan, edisi Sabtu, 26 Juni 2004
Keluarga kami bergereja di GKI Bogor. Anak pertama
kami Sekolah Minggu di kelas besar pada jam 07.00,
sedangkan adiknya yang masih batita masuk Sekolah
Minggu, pukul 09.00 WIB. Pemisahan kelas anak-anak
kami membuat kami tidak bisa ke gereja bersama-sama
dan kami bersepakat bahwa sayalah yang kebagian tugas
mengantar anak terbesar ke Sekolah Minggu, sekalian
mengikuti kebaktian jam 07.00 WIB.
Minggu, 13 Juni 2004, kami bangun agak kesiangan. Saya
dan anak saya yang pertama pergi ke gereja begitu
terburu-buru. Biasanya kami naik angkot 08 dari arah
Cibinong turun di Pasar Anyar, kemudian naik becak ke
Jl. Pengadilan. Tetapi karena kami terburu-buru, saya
berusaha memprovokasi bang sopir untuk membelokkan
angkotnya ke Jl. Pengadilan.
Saya sama sekali tidak memperhatikan seorang nenek tua
yang duduk di bangku yang berseberangan dengan kami.
Pikir saya, toh nenek itu tidak protes, berarti dia
setuju juga, apalagi saya lihat nenek tua itu juga
membawa Alkitab sehingga saya berpikir bahwa kami
bertiga sedang menuju ke satu tujuan yang sama.
Turun dari angkot, saya buru-buru masuk ke gereja dan
karena kebaktian sudah dimulai, saya dan nenek tua itu
duduk bersebelahan di bangku paling belakang. Kami
duduk demikian mepetnya sehingga aroma minyak angin
yang dipakai nenek itu benar-benar menyengat hidung
saya.
Nenek itu kebingungan, tapi saya tak menggubrisnya
karena saya harus cepat-cepat berdoa pribadi kemudian
melirik ke jemaat di sebelah kanan saya untuk
mengintip nomor lagu NKB yang sedang dinyanyikan.
Nenek yang ada di sebelah kiri saya bergumam, "Kok
beda, ya?"
Pikirku,"Nenek ini gimana sih? Kayak nggak tahu saja.
Lagu-lagu di NKB memang beda dengan Kidung Jemaat."
Karena nenek itu masih gusar, saya menyodorkan buku
NKB supaya nenek itu bisa ikut menyanyi sambil
kujelaskan,"Iya, sekarang nyanyinya pakai NKB, bukan
Kidung Jemaat".
Tapi walaupun sudah saya tunjukkan baris per baris
lagu yang sedang dinyanyikan, nenek itu mengeluarkan
suara yang berbeda. Dalam hati saya tersenyum,"Wah,
nenek ini kalau ikut AFI bisa langsung dieliminasi,
karena intonasi lagunya nggak jelas, timbrenya
ancur-ancuran dan pitch control lemah sekali."
Saat Pendeta mengajak jemaat membuka Alkitab sebagai
petunjuk hidup baru, nenek di sebelah kiri saya
mengalami kesulitan. Saya berusaha menolong mencari
ayat-ayat yang dimaksud. Begitu selesai menolong nenek
tua itu, saya membuka sendiri Alkitab saya, tapi
begitu ketemu ayatnya, Pendeta telah selesai
membacakannya.
Saat Pendeta meminta kami membuka ayat-ayat yang lain,
nenek pikun itu kembali mengundang perhatian saya
untuk menolongnya. Seperti kejadian pertama, saat saya
menemukan ayat-ayat di Alkitab saya sendiri, saya
sudah ketinggalan karena Pendeta sudah meminta kami
untuk membuka ayat-ayat yang lain lagi. Saya nggak
tahu sudah berapa kali Pendeta meminta kami membuka
Alkitab, tapi tak ada pembacaan satu
ayat pun yang bisa saya ikuti.
Saat Pendeta mengajak jemaat membaca firman sebelum
kotbah, saya berusaha membuka Alkitab saya sendiri
dulu dan setelah ketemu saya menyodorkan Alkitab saya
kepada nenek itu. Maksud saya, biar saya membuka
Alkitab nenek itu pelan-pelan (karena tidak berindeks
dan sudah kusut/kumal). Tapi begitu melihat tulisan di
Alkitab saya, nenek itu minta tolong dicarikan kaca
mata di tasnya.
Setelah kaca mata saya berikan, saya kembali membuka
pelan-pelan Alkitab si nenek. Begitu saya menemukan
ayat-ayat yang dimaksud dan langsung membaca dari
Alkitab si nenek, nenek itupun kembali "berulah". Dia
menutup Alkitab di tanganya dan menyerahkan ke saya
sambil berkata "Ah, susah.tulisannya kecil-kecil" dan
dia pun menarik Alkitabnya sendiri yang masih di
tangan saya. Daripada buka-buka lagi, saya mencoba
untuk nebeng, ikut membaca Alkitab si nenek. Tapi
nenek itu tidak mempedulikan saya dan asyik membaca
Alkitab sendiri, tanpa memberi kesempatan kepada saya
untuk ikut membacanya.
"Maklum sajalah, namanya juga sudah pikun" kataku
dalam hati untuk menghibur diri.
Saat pengumpulan persembahan, nenek itu lagi-lagi
mengalami kesulitan. Ia mengaduk-aduk semua isi
tasnya, tetapi ia tidak menemukan dompetnya dan ia pun
meminta bantuan saya untuk mencarinya.
Karena saya tak menemukan dompetnya, sedangkan petugas
kolektannya sudah hampir sampai di barisan belakang,
saya memberikan amplop uang yang ada di genggaman
saya, kepada nenek itu. Sayapun secepat kilat menarik
selembar uang dari dompet saya.
Melihat tingkah nenek yang sedemikian "ngrepotinnya"
saya malah tersenyum malu. "Wah, mungkin ini cara
Tuhan untuk mengingatkan saya, bahwa persembahan
yang sudah saya siapkan dari rumah itu belum cukup"
Makanya saya hanya tersenyum saat nenek itu
mengucapkan terima kasih, saya pikir ucapan itu tidak
perlu karena berapapun uang yang saya keluarkan pagi
itu, semuanya merupakan persembahan saya untuk Tuhan,
bukan untuk nenek itu.
Setelah kami berdiri untuk doa persembahan, kami
kembali duduk. Nenek itu tampaknya kaget karena merasa
ada benda asing di sekitar perutnya.
"Oh..ternyata di sini," kata nenek itu sambil mencabut
dompet dari balik kain stagennya. Nenek itupun membuka
dompetnya, mengambil beberapa lembar uang ribuan dan
menyodorkannya ke saya. Saya menolaknya karena saya
nggak mau menarik kembali uang yang sudah saya
persembahkan, terlebih lagi saya harus cepat-cepat
berdiri khusuk untuk menerima berkat pengutusan dari
Pendeta.
Selesai kebaktian, saya pikir, "Plong" ..selesailah
tugas saya sebagai babby sitter." Tapi ternyata tidak.
Biasanya begitu selesai saat hening, saya langsung
kabur.cepat-cepat pulang karena harus menyiapkan anak
terkecil saya untuk Sekolah Minggu jam 09.00. Tapi
pagi itu, nenek memaksa saya mengikuti prosesi,
iring-iringan jemaat keluar dari pintu utama untuk
bersalaman dengan Pendeta.
Anak saya yang sudah keluar dari Sekolah Minggu sudah
tidak sabar menunggu di
gerbang gereja. Tapi saya juga tidak bisa buru-buru
meninggalkan nenek itu, karena nenek itu tampak
kebingungan. Katanya "Kok, gerejanya sekarang beda,
gembala sidangnya juga beda, nyanyinya juga beda. Saya
jadi bingung"
Mendengar istilah gembala sidang, saya terkejut. Saya
baru sadar bahwa nenek itu ternyata bukan jemaat GKI
dan sayapun bertanya "Memangnya gereja nenek biasanya
di mana?"
"Ya di sini. Dari rumah biasanya saya naik 08 sampai
mentok. Keluar dari gereja biasanya saya belanja di
Pasar Anyar, tapi sekarang kok pasarnya pindah ya?"
"O...gereja nenek itu Pantekosta yang di Pasar Anyar
ya? Ini GKI nek!"
"O.jadi saya ini kesasar, tho?"
"Sekarang nenek pulangnya mau naik apa?" tanya saya.
"Saya mau pulang ke Pomad, naik angkotnya dari depan
gereja"
"Kalau begitu bareng dengan saya nek, kita sama-sama
naik 08" saya berusaha untuk menolongnya.
"Ah, nggak mau, nanti kesasar lagi! Saya maunya naik
angkot 08 yang dari depan gereja saya"
"Nenek bisa jalan kaki dari sini ke gereja nenek?"
"Wah, nggak tahu! Tolong ya, antarkan saya ke sana
dulu!"
Karena saya sadar telah membuat nenek itu "tersesat",
saya pun bersedia mengantar nenek itu berjalan
kira-kira 800 m ke gerejanya.
Anak sayapun bersungut-sungut. Katanya, "Uh..ngapain
sih kita harus ngurusin orang lain"
Sayapun berusaha menjelaskan bahwa tidak ada gunanya
kita pergi ke gereja, berdoa, dan baca Alkitab kalau
kita tidak mau melakukan sesuatu untuk orang yang
membutuhkan. "Seharusnya kita bersyukur bisa bertemu
dengan nenek ini, karena di rumah kita nggak punya
nenek" bisik saya.
"Hi...geuleuh" kata anak saya dalam bahasa Sunda yang
berarti "jijik".
Seketika itu saya merasa gagal mendidik anak dan saya
hanya bilang,"Tiga puluh tahun lagi mungkin keadaan
ibu lebih pikun dari nenek itu. Mungkin ibu besok
lebih keriput, kumal, dan lebih menyebalkan. Apakah
kamu tega bilang kalau ibu geuleuh? Apakah kamu rela
kalau kelak akan-anak kecil mengatakan ibu geuleuh?
Kalau kamu tidak mau ibu dan kamu sendiri dikatakan
geuleuh jangan sekali-kali kamu melakukannya pada
orang lain." kata saya menasihati.
Ternyata nenek pikun itu telah banyak sekali
memberikan pelajaran buat saya, paling tidak pelajaran
tentang kesabaran, kepedulian, dan keinginan untuk
melayani. Saya juga diingatkan bahwa ternyata masih
banyak sekali pelajaran-pelajaran kasih yang belum
saya ajarkan kepada anak saya.
Mungkin nilai rapor anak saya untuk mata pelajaran
Kasih masih merah, karena saya, ibunya, yang harus
berperan sebagai guru kasih bagi anak-anak belum
lengkap dan tuntas mengajari dan memberi teladan
kepadanya. Maka...Tuhan, ampunilah kami!
penulis adalah pekerja di sebuah NGO internasional
Comments