TIDAK MUNGKIN MENINGGALKAN TUHAN 03
Suara hati kecil untuk mengakhiri hidup itu terngiang-ngiang di telinganya. Di dalam hatinya berkembang bahwa ia tidak punya siapa-siapa, tidak punya saudara, tidak punya orang tua, untuk apa hidup di dunia ini. Lebih baik memang harus mengakhiri kehidupan, di alam sana tidak ada permasalahan yang membuat hati tergores. Suara hati kecil sepertinya ada kuasa untuk menggerakkan tubuhnya. Ibu Rukmini bangkit dan berjalan mengambil kain panjang dan tanpa sadar kain itu mulai dipilinnya. Dan seperti bukan maksudnya sendiri matanya melihat di tulang rumah mana kain itu akan diikat. Rasanya hati ibu Rukmini ketika itu sudah bulat untuk mengakhiri hidup.
“Tindakanmu sudah benar, untuk apa hidup kalau masalah banyak demikian. Suami yang menjadi tempat bersandar malah mengkhianati, benar…. akhiri hidupmu”, demikian kata hati kecil. “Dan kamu tahu mati itu enak”.
Tangan tanpa henti memilin kain pajang, dan Ibu Rukmini seperti robot mencari tulang rumah yang bisa dipakai untuk mengakhiri hidupnya. Namun, tiba-tiba tubuhnya terjajar, ketika pintu rumah terbuka, anak laki-lakinya datang dengan membawa rangsel.
“Bu kata teman-teman Bapak pulang?”, demikian tanya anaknya, yang baru pulang dari kegiatan sejak 2 hari yang lalu, ikut retreat anak-anak Sekolah Minggu. Mendengar suara anaknya semua suara pergolakan batin untuk menuntun supaya mengakhiri hidup ini hilang lenyap tanpa bekas. Ibu Rukmini disadarkan bahwa ia memiliki satu-satunya yang menjadi harapan kehidupannya yaitu anak laki-lakinya. Ibu Rukimini langsung membuang kain panjang yang sudah dipilin itu dan memeluk anaknya dengan tangisan yang tersedu-sedu.
Anak laki-lakinya itu nampak bingung. “Bu ada apa?”, demikian tanya anaknya. Ibu Rukmini menggelengkan kepala. Dalam hati anaknya tidak akan diberitahu persoalan dengan bapaknya. Mungkin saat ini tidak tepat karena anaknya baru saja pulang dari kegiatan Gereja.
“Kok sampai malam to Nak pulangnya?”, demikian yang terlontar dari mulut ibu Rukmini di sela-sela sedu sedannya.
“Kan mobilnya muter-muter dulu ngantar teman-teman yang jauh, baru yang terakhir anak-anak yang tinggal di sini bu?”, demikian jawaban anaknya, sambil meletakkan rangselnya.
“Sudah mandi dulu sana ya?”, demikian ibu Rukmini menyarankan anaknya. Dan ibu Rukmini mengambil tas anaknya, membongkar untuk pakaian-pakaian yang kotor di bawa ke tempat cucian. Nampak anaknya mau bertanya, namun ibu Rukimin sudah membawa pakaian anaknya laki-laki itu ke tempat cucian.
Seiring kehadiran anak laki-lakinya, pikiran ibu Rukmini kembali normal, ia melihat kenyataan bahwa dirinya masih ada gunanya untuk masa depan anak laki-lakinya. Ia masih memiliki tanggung jawab yang besar. Seiring dengan tersingkirnya kekalutan di dalam pikirannya, ia teringat yang selama ini menjadi bagian hidupnya Tuhan Yesus. Dia sudah banyak menolong di dalam kehidupannya, dan ia rasakan bahwa itu tuntunanNya untuk supaya ibu Rukmini lebih percaya kepada Dia. Dan memang seiring dengan rajinnya beribadah, imannya semakin bertumbuh, dan semakin berakar.
Ketika anaknya di kamar mandi itulah, ibu Rukmini berlutut di kamar, ia mohon ampun atas tindakan yang akan dilakukan. Ia lebih focus kepada kekalutan hatinya dari pada minta penerangan kepada Tuhan. Ibu Rukmini berterima kasih bahwa anaknya tiba tepat pada waktunya. Jika tidak maka malam ini ia sudah almarhum. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana hancurnya hati anak laki-lakinya tersebut, ketika pulang dari kegiatan gereja mendapatkan ibunya bergantung di tulang rumah sudah menjadi mayat. Ibu Rukmini menarik nafas dalam-dalam, ada sembilu mengiris hatinya.
Tanpa bisa di kendalikan pikirannya menerawang jauh, bilamana anaknya menjadi dewasa nanti, ia akan dicap oleh lingkungan dan teman-temannya kalau keturunan seorang ibu yang matinya, menggantung diri. Sudah tentu akan merendahkan anaknya. Ternyata anaknya memiliki ibu yang tidak tegar dalam menghadapi sulitnya kehidupan. Sampai di sini ibu Rukmini menarik nafas dalam-dalam, menenggelamkan kepedihan hatinya yang tiba-tiba terungkat. Kembali rasa syukur dipanjatkan kepada Tuhan, ia tidak menuruti kekalutan hatinya.
“Bu, Bapak katanya pulang”, demikian anaknya setelah selesai mandi, masih menanyakan bapaknya (Bersambung)
SEKALUT-KALUTNYA HATI JANGAN SAMPAI PUNYA PIKIRAN UNTUK MENGAKHIRI HIDUP, KARENA DENGAN MENGAKHIRI HIDUP ITU MERAMPAS KEWENANGAN TUHAN DI DALAM MENGATUR KEHIDUPAN
Comments