STARVING BEGGARS
By : Netty Sitorus
"Eh kita makan dimana nih??", Dina menunjukkan wajah kelaparan di depan teman-temannya.
“Terserah sih, mau di Sarinah??”, sahut Evi tanpa menoleh karena sibuk ketik sms.
“Aduh jangan disitu dong, banyak banget tukang ngamennya, mendingan ayam goreng yang dibelakang BP aje”, protes Yuni sambil memajukan bibirnya berapa senti.
“Bosen ah disitu, cari tempat lain dong, yang banyak cowo gantengnya, jadi sambil makan gue gak ngeliat tampang kalian terus, sekali-sekali ada pemandang yg menarik gitu lho”, lirik Lani sambil tertawa, anak satu ini memang kalau kemana-mana harus selalu melihat lawan jenis baru bisa tenang, biar kecantikannya gak mubazir kata dia setiap kali kami kesal dengan gayanya.
“Duh jadi dimana dong??”, Wajah Dina sudah bukan menunjukan rasa lapar lagi, tapi sudah menjadi peringatan bagi teman-temannya bahwa jika dalam waktu 5 menit belum dicapai suatu keputusan, maka dia akan pingsan.
Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka, dan memilih sikap tidak menyodorkan alternative pilihan lain, karena akan membuat perdebatan rutin setiap kali kami kumpul akan makin tertunda lama. Aku lebih suka melayangkan pandangan memperhatikan orang yang lalu lalang dan para penjual makanan disekitar kami, biasanya banyak hal menarik yang aku dapatkan dari hobby memperhatikan aktifitas orang lain .
Tiba-tiba pandanganku terhenti pada dua wanita gelandangan lusuh yang sedang jongkok mengais-ngais bak sampah tak jauh dari tempat kami berdiri. Tanpa memperdulikan orang-orang sekitar yang juga tidak mempedulikan diri mereka, ke dua gelandangan tersebut dengan sigap dan terlatih menggunakan kedua tangan mereka untuk mencari makanan, tangan kiri mengorek-ngorek sampah dan tangan kanan memasukkan apa saja yg layak untuk dimakan ke dalam mulut mereka. Gaya makan yang terburu-buru serta selalu menjilat pembungkus makanan yang mereka temukan menunjukkan bahwa perut mereka mungkin sudah lama tidak terisi.
Aku menoleh ke kelompok teman-temanku yang masih belum bisa mengambil kesepakatan, ada rasa gelisah dan tidak nyaman saat melihat jurang perbedaan yang teramat dalam antara kelompok kami dan mereka. Saat kami beradu argumentasi tempat makan mana yang enak atau yang tidak enak, ke dua gelandangan tersebut sibuk memutuskan makanan mana yang masih layak dimakan dan mana yang tidak.
Terbayang seandainya terjadi perdebatan diantara kedua gelandang tersebut setiap kali perut lapar, mereka mungkin hanya meributkan tempat sampah mana yang ingin mereka kunjungi.
"Eh jangan ke tempat sampah yang dirumah makan sana, ayamnya cuma tulang-tulang doang, mendingan ke tempat sampah yang samping pasar aja yuk, tulang-tulang ayamnya suka masih ada kulit sedikit dan suka ada saos sisa".
"Mendingan bak sampah warteg yang diseberang aja deh, sayur-sayurnya cuma basi doang lho tapi belum ada belatungnya, lumayankan...udah lama nih kita gak makan sayur"
Duuuhhh…kepalaku jadi sedikit terasa pusing membayangkannya.
Aku kembali menoleh ke kedua gelandangan tadi, memperhatikan rambut mereka yang sudah dipastikan tidak pernah menyentuh shampoo dan tampaknya menjadi tempat yang nyaman untuk makluk-makluk kecil yang hidup disana, beda sekali dengan rambut aku dan teman-temanku yang tidak pernah jauh dari salon, rambut Dina yang selalu berganti warna sampe dia sendiri lupa warna asli rambutnya, rambut yuni yang direbonding, belum lagi Evi yang suka sekali mengganti potongan rambut dari yang wajar sampai terlihat aneh.
Jangankan ada makluk hidup yang berani tinggal di rambut mereka, ada setitik ketombe saja sudah menjadi alasan yang cukup untuk histeris dan menghabiskan banyak uang di salon untuk mengusir ketombe tersebut.
Ke dua wanita gelandangan itu juga pasti tidak pernah menonton sinetron dan iklan-iklan di televisi, karena wajah mereka yang hitam pekat campuran alami antara sinar matahari, daki dan debu jalanan pasti tidak tahu bahwa ukuran kecantikan wanita jaman sekarang ini dan syarat kalau pengen dilirik lawan jenis adalah dengan memiliki wajah dan kulit putih tanpa peduli warna asli kulit saat dilahirkan.
Teman-temanku tidak akan menyayangkan uang demi memutihkan kulit muka, dari mulai krim pemutih, sabun pemutih sampai suntik pemutih. Berbagai produk wajah yang menjanjikan wajah menjadi putih hanya dalam waktu beberapa minggu, langsung akan dicoba sampai kulit kalo bisa bukan hanya menjadi putih tapi nyaris transparan sampai terlihat aliran pembuluh darah.
Bentuk tubuh kedua gelandangan yang hanya terdiri dari tulang berbungkus kulit sebenarnya merupakan bentuk ideal yang mati-matian didambakan oleh aku dan teman-temanku. Bedanya ke dua gelandangan tersebut mendapatkan bentuk tubuh “langsing” seperti itu secara alami karena jarangnya mereka mendapatkan makanan, sedangkan kami harus berjuang menghilangkan lemak-lemak yang tidak diundang dengan mengunjungi tempat-tempat fitness dan menelan pil-pil pelangsing hanya karena kami tidak tahu perbedaan makan saat perut memang lapar dan makan yang hanya untuk sekedar untuk senang-senang.
Aku juga memperhatikan pakaian mereka yang compang-camping dan sekedar hanya supaya ada yang menempel di badan sehingga memperlihatkan sebagian besar dari tubuh mereka yangggg…
“LAAAA, LU NGAPAIN SIH DARI TADI BENGONG SENDIRIAN??, TUH YANG LAIN UDAH PADA JALAN DULUAN, KITA MAU MAKAN SEAFOOD YANG DISEBERANG….BURUANNNNN…NTAR SI DINA KEBURU PINGSAN”.
Aku terkejut dan aktifitasku memperhatikan kedua gelandangan tersebut langsung buyar mendengar teriakan Evi yang begitu keras, yang cukup membuat beberapa tukang parkir dan tukang ojeg tersenyum manis melihat kami.
“OKEEEE…OKEEEE..tungguin gue dong”, aku cepat-cepat mengejar langkah-langkah teman-temanku, sambil sebentar melirik untuk terakhir kalinya ke kedua gelandangan tersebut.
Ada terbersit rasa berterima kasih dengan kehadiran mereka karena menyadarkan aku kembali tentang berbagai kemudahan dan kenyaman yang kurang aku syukuri dan hargai dalam hidup selama ini, hanya karena aku berpikir memang aku berhak untuk mendapatkan semua itu.
Berbagai rencana muncul di hati, mulai dari janji untuk akan menghargai dan menikmati dengan penuh syukur setiap makanan yang bisa aku beli dan aku makan, sampai rencana untuk mengurangi pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu yang hanya sekedar untuk bersenang-senang dengan teman-teman. Tapi terlepas dari semua rencana tersebut, hal sederhana yang ingin aku lakukan saat ini adalah memesan dua porsi makanan , yang akan aku berikan kepada ke dua gelandangan tadi, semoga mereka masih ada ditempat sampah itu pada saat aku selesai makan.
Best Regards
Netty Sitorus
By : Netty Sitorus
"Eh kita makan dimana nih??", Dina menunjukkan wajah kelaparan di depan teman-temannya.
“Terserah sih, mau di Sarinah??”, sahut Evi tanpa menoleh karena sibuk ketik sms.
“Aduh jangan disitu dong, banyak banget tukang ngamennya, mendingan ayam goreng yang dibelakang BP aje”, protes Yuni sambil memajukan bibirnya berapa senti.
“Bosen ah disitu, cari tempat lain dong, yang banyak cowo gantengnya, jadi sambil makan gue gak ngeliat tampang kalian terus, sekali-sekali ada pemandang yg menarik gitu lho”, lirik Lani sambil tertawa, anak satu ini memang kalau kemana-mana harus selalu melihat lawan jenis baru bisa tenang, biar kecantikannya gak mubazir kata dia setiap kali kami kesal dengan gayanya.
“Duh jadi dimana dong??”, Wajah Dina sudah bukan menunjukan rasa lapar lagi, tapi sudah menjadi peringatan bagi teman-temannya bahwa jika dalam waktu 5 menit belum dicapai suatu keputusan, maka dia akan pingsan.
Aku hanya tersenyum melihat tingkah mereka, dan memilih sikap tidak menyodorkan alternative pilihan lain, karena akan membuat perdebatan rutin setiap kali kami kumpul akan makin tertunda lama. Aku lebih suka melayangkan pandangan memperhatikan orang yang lalu lalang dan para penjual makanan disekitar kami, biasanya banyak hal menarik yang aku dapatkan dari hobby memperhatikan aktifitas orang lain .
Tiba-tiba pandanganku terhenti pada dua wanita gelandangan lusuh yang sedang jongkok mengais-ngais bak sampah tak jauh dari tempat kami berdiri. Tanpa memperdulikan orang-orang sekitar yang juga tidak mempedulikan diri mereka, ke dua gelandangan tersebut dengan sigap dan terlatih menggunakan kedua tangan mereka untuk mencari makanan, tangan kiri mengorek-ngorek sampah dan tangan kanan memasukkan apa saja yg layak untuk dimakan ke dalam mulut mereka. Gaya makan yang terburu-buru serta selalu menjilat pembungkus makanan yang mereka temukan menunjukkan bahwa perut mereka mungkin sudah lama tidak terisi.
Aku menoleh ke kelompok teman-temanku yang masih belum bisa mengambil kesepakatan, ada rasa gelisah dan tidak nyaman saat melihat jurang perbedaan yang teramat dalam antara kelompok kami dan mereka. Saat kami beradu argumentasi tempat makan mana yang enak atau yang tidak enak, ke dua gelandangan tersebut sibuk memutuskan makanan mana yang masih layak dimakan dan mana yang tidak.
Terbayang seandainya terjadi perdebatan diantara kedua gelandang tersebut setiap kali perut lapar, mereka mungkin hanya meributkan tempat sampah mana yang ingin mereka kunjungi.
"Eh jangan ke tempat sampah yang dirumah makan sana, ayamnya cuma tulang-tulang doang, mendingan ke tempat sampah yang samping pasar aja yuk, tulang-tulang ayamnya suka masih ada kulit sedikit dan suka ada saos sisa".
"Mendingan bak sampah warteg yang diseberang aja deh, sayur-sayurnya cuma basi doang lho tapi belum ada belatungnya, lumayankan...udah lama nih kita gak makan sayur"
Duuuhhh…kepalaku jadi sedikit terasa pusing membayangkannya.
Aku kembali menoleh ke kedua gelandangan tadi, memperhatikan rambut mereka yang sudah dipastikan tidak pernah menyentuh shampoo dan tampaknya menjadi tempat yang nyaman untuk makluk-makluk kecil yang hidup disana, beda sekali dengan rambut aku dan teman-temanku yang tidak pernah jauh dari salon, rambut Dina yang selalu berganti warna sampe dia sendiri lupa warna asli rambutnya, rambut yuni yang direbonding, belum lagi Evi yang suka sekali mengganti potongan rambut dari yang wajar sampai terlihat aneh.
Jangankan ada makluk hidup yang berani tinggal di rambut mereka, ada setitik ketombe saja sudah menjadi alasan yang cukup untuk histeris dan menghabiskan banyak uang di salon untuk mengusir ketombe tersebut.
Ke dua wanita gelandangan itu juga pasti tidak pernah menonton sinetron dan iklan-iklan di televisi, karena wajah mereka yang hitam pekat campuran alami antara sinar matahari, daki dan debu jalanan pasti tidak tahu bahwa ukuran kecantikan wanita jaman sekarang ini dan syarat kalau pengen dilirik lawan jenis adalah dengan memiliki wajah dan kulit putih tanpa peduli warna asli kulit saat dilahirkan.
Teman-temanku tidak akan menyayangkan uang demi memutihkan kulit muka, dari mulai krim pemutih, sabun pemutih sampai suntik pemutih. Berbagai produk wajah yang menjanjikan wajah menjadi putih hanya dalam waktu beberapa minggu, langsung akan dicoba sampai kulit kalo bisa bukan hanya menjadi putih tapi nyaris transparan sampai terlihat aliran pembuluh darah.
Bentuk tubuh kedua gelandangan yang hanya terdiri dari tulang berbungkus kulit sebenarnya merupakan bentuk ideal yang mati-matian didambakan oleh aku dan teman-temanku. Bedanya ke dua gelandangan tersebut mendapatkan bentuk tubuh “langsing” seperti itu secara alami karena jarangnya mereka mendapatkan makanan, sedangkan kami harus berjuang menghilangkan lemak-lemak yang tidak diundang dengan mengunjungi tempat-tempat fitness dan menelan pil-pil pelangsing hanya karena kami tidak tahu perbedaan makan saat perut memang lapar dan makan yang hanya untuk sekedar untuk senang-senang.
Aku juga memperhatikan pakaian mereka yang compang-camping dan sekedar hanya supaya ada yang menempel di badan sehingga memperlihatkan sebagian besar dari tubuh mereka yangggg…
“LAAAA, LU NGAPAIN SIH DARI TADI BENGONG SENDIRIAN??, TUH YANG LAIN UDAH PADA JALAN DULUAN, KITA MAU MAKAN SEAFOOD YANG DISEBERANG….BURUANNNNN…NTAR SI DINA KEBURU PINGSAN”.
Aku terkejut dan aktifitasku memperhatikan kedua gelandangan tersebut langsung buyar mendengar teriakan Evi yang begitu keras, yang cukup membuat beberapa tukang parkir dan tukang ojeg tersenyum manis melihat kami.
“OKEEEE…OKEEEE..tungguin gue dong”, aku cepat-cepat mengejar langkah-langkah teman-temanku, sambil sebentar melirik untuk terakhir kalinya ke kedua gelandangan tersebut.
Ada terbersit rasa berterima kasih dengan kehadiran mereka karena menyadarkan aku kembali tentang berbagai kemudahan dan kenyaman yang kurang aku syukuri dan hargai dalam hidup selama ini, hanya karena aku berpikir memang aku berhak untuk mendapatkan semua itu.
Berbagai rencana muncul di hati, mulai dari janji untuk akan menghargai dan menikmati dengan penuh syukur setiap makanan yang bisa aku beli dan aku makan, sampai rencana untuk mengurangi pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu yang hanya sekedar untuk bersenang-senang dengan teman-teman. Tapi terlepas dari semua rencana tersebut, hal sederhana yang ingin aku lakukan saat ini adalah memesan dua porsi makanan , yang akan aku berikan kepada ke dua gelandangan tadi, semoga mereka masih ada ditempat sampah itu pada saat aku selesai makan.
Best Regards
Netty Sitorus
Comments