Salah satu kebutuhan dasar anak-anak adalah cinta
kasih. Ketika seorang anak mendapatkan dirinya dicintai, kelak ia akan
berkembang menjadi anak yang tahu mencintai orang tua, mencintai
dirinya, dan mencintai orang lain. Sesungguhnya orang yang mengenal
dicintai dan mencintai adalah kebahagiaan hidup yang sejati.
Apakah Saudara merindukan agar anak-anak Saudara
dapat menjadi anak yang bertumbuh dalam cinta kasih yang membawa
kebahagiaan? Bukan kebencian, kepahitan dan dendam yang membawa
penderitaan dan kesusahan? Kalau ya, ikutilah tujuh cara di bawah ini.
- PERLIHATKAN CINTA KASIH ANTARA SUAMI DAN ISTRI
- MENERIMA ANAK SEBAGAIMANA ADANYA
- MENGHARGAI ANAK MELEBIHI MATERI
- MELAKUKAN TINDAKAN KASIH YANG NYATA
- SUKA MENDENGARKAN ANAK
- PERCAYA KEPADA ANAK
- MEMBAGI PENGALAMAN
Hampir semua karakter anak-anak dipelajari
dari meniru orang tua mereka. Jika anak-anak sering melihat orang tuanya
bertengkar, marah-marah, saling membenci, saling menghina dan saling
memusuhi, secara tidak sadar otak dan hatinya akan merekam semua
peristiwa yang menyakitkan tersebut. Lama-kelamaan anak-anak akan
bertumbuh menjadi anak yang juga berwatak keras, pembenci, dendam, suka
bertengkar, bermusuhan, dan tidak tahu mengasihi.
Semua anak adalah unik. Artinya tidak ada dua
orang anak yang sama 100% walaupun mereka kembar. Sebab itu orang tua
harus mampu mengenal dan menemukan keunikan anaknya masing-masing.
Selanjutnya orang tua harus menerima keberadaan anaknya secara utuh
tanpa harus membanding-bandingkan dengan anak yang lain. Maka, anak
tersebut akan bertumbuh menjadi anak yang percaya diri, tahu menghargai
diri, dan tahu menghargai orang lain.
Sebaliknya jika orang tua menuntut anaknya menjadi
seperti orang lain, mis: meniru kakaknya, atau menjadi seperti ayah,
atau ibu, atau "seseorang" lain, anak tersebut akan merasakan "tekanan"
pada dirinya, yang pada akhirnya mengakibatkan frustrasi, depresi, atau
kebencian terhadap orang tua. Alhasil, anaknya tidak merasakan dicintai,
dan tidak akan pernah belajar mencintai pula.
Ada sebagian orang tua yang begitu
mementingkan materi (uang, harta benda) sehingga tidak perna ada waktu
yang disediakan bagi anak; atau bahkan ada yang tidak sungkan-sungkan
mempertaruhkan nilai moral dan harga diri demi sejumlah uang. Misalnya:
berdusta, berjudi, melanggar hukum, atau melakukan kejahatan lainnya.
Hal-hal ini akan membuat anak memiliki konsep yang salah terhadap nilai
seorang manusia. Dia akan bertumbuh menjadi seorang yang lebih
menghargai materi daripada harga dirinya, atau harga diri orang lain.
Materi baginya segala-galanya seperti yang diterima dan dialami dalam
keluarganya.
Setelah dia dewasa, dia akan lebih mencintai uang
daripada mencintai orang tua; lebih mementingkan uang daripada harga
dirinya atau nyawanya; dan tidak pernah akan belajar menghargai manusia
lebih daripada materi dan harta benda lainnya. Ini sangat berbahaya.
Cinta kasih bukanlah kata benda, melainkan
kata kerja. Dengan kata lain, cinta kasih haruslah dipraktikkan dalam
perbuatan-perbuatan baik dan nyata. Kasih tidak ada gunanya jika hanya
dibicarakan, didiskusikan, dan diperdebatkan. Orang tua yang ingin
anaknya kelak memiliki watak cinta kasih, hendaklah mulai menanamkan
perbuatan-perbuatan baik kepada anak-anaknya sejak umur dini. Untuk itu
seringkali dibutuhkan kerelaan untuk berkorban bagi anak-anak; bukan
saja secara materi, yang lebih penting adalah waktu, perhatian, tenaga,
dan bantuan-bantuan lainnya.
Anak yang mengalami tindakan-tindakan kasih dari
orang tuanya akan bertumbuh menjadi seorang yang berjiwa besar dan
berhati lembut dan berwatak rela untuk menolong siapa saja yang
membutuhkan. Kelak, dia akan sangat berterima kasih kepada orang tuanya,
dan akan sangat mencintai mereka, serta menjadi berkat bagi banyak
orang lain.
Pada umumnya orang tua cenderung membangun
komunikasi satu arah dengan anaknya, yaitu hanya memberikan nasihat,
menggurui, dan menuntut sang anak mendengarkan, taat, dan mendengarkan.
Anak tidak diijinkan banyak bicara apalagi membantah. Akibatnya tidak
sedikit anak yang "tertekan", "main pintu belakang, diam-diam
memberontak atau terang-terangan menunjukkan kebencian terhadap orang
tuanya, karena mereka merasakan haknya untuk berbicara dan didengar
telah direbut oleh orang tuanya.
Jika orang tua ingin anaknya menciptakan pertumbuhan
yang normal dan sehat pada anak, khususnya memiliki watak dan pribadi
yang tahu mencintai dan menghargai orang lain, maka adalah mutlak orang
tua harus mengahargai hak anak untuk berbicara dan didengarkan. Memang
tidak mudah. Namun tidak berarti mustahil bukan? Orang tua perlu
menyediakan waktu untuk mendengarkan anak-anaknya berbicara, mengeluh,
menyampaikan ketidak-setujuan, mengajukan pendapatnya, bahkan menyatakan
protesnya. Janganlah mendengarkan sambil membaca koran, menonton TV,
atau mengerjakan sesuatu yang lain. Belajarlah menghargai mereka dengan
mendengarkan secara serius dan penuh perhatian serta memandang matanya.
Setelah itu barulah orang tua mengarahkan anaknya ke jalan yang benar
melalui komunikasi dua arah. Sesungguhnya, komunikasi itu bukan saja
berbicara, tetapi mendengarkan. Ya. Mendengarkan.
Anak yang dipercayai perkataannya dan
perbuatannya oleh orang tuanya akan merasakan dirinya diakui
eksistansinya, dihargai, dan dicintai. Sebaliknya anak yang sering
dicurigai - biasanya karena pernah berdusta atau melakukan kesalahan -
akan merasakan dirinya tidak berguna lagi. Walaupun ia sudah mencoba
berubah dan melakukan hal-hal yang benar, namun orang tua tidak pernah
sungguh-sungguh memaafkannya dan mempercayainya. Akibatnya ia akan
merasa tidak berharga, najis, tidak dimiliki, dan ia akan nekad untuk
melakukan hal-hal yang lebih jahat lagi. Mungkin mottonya: "Toh, sudah
kepalang basah, dan tidak pernah dipercaya lagi, untuk apa saya berbuat
baik dan mengasihi mereka? Sekalian saja saya rusak!"
Sebaliknya jika orang tua mengenal ketidak-sempurnaan
manusia, ia akan belajar memaafkan kesalahan, menerima kembali anak
secara utuh, dan mempercayai anaknya sepenuhnya. Hal ini akan membuat
anak merasakan dicintai, diterima, dan dipulihkan dari segala kelemahan
dan kesalahannya. Akibatnya segala kepahitan, atau kebencian, atau
luka-luka batin akan sembuh dan digantikan dengan sukacita, damai, rasa
aman, penuh semangat, dan percaya diri. Semua ini akan membangun watak
cinta kasih yang sangat mulia.
Pengalaman adalah guru yang terbaik. Namun
jarang sekali orang tua yang mau membagi-bagikan pengalaman pribadi
mereka kepada anak-anaknya. Mungkin ada pengalaman yang kurang baik,
menyakitkan, atau kurang membangun. Namun sesungguhnya melalui pembagian
pengalaman inilah anak-anak akan belajar fakta-fakta hidup yang
sebenarnya. Selain itu anak akan diajar untuk terbuka karena orang tua
berani untuk membuka dirinya.
Keterbukaan adalah salah satu syarat mutlak untuk
menciptakan watak cinta kasih. Karena kasih itu jujur dan terbuka,
berani mengaku salah, dan rela memaafkan. Pengalaman yang pahit ataupun
manis, berhasil ataupun gagal, baik atau buruk, memiliki pelajaran yang
sama berharganya bagi anak-anak. Mereka akan merasakan dilibatkan dalam
kehidupan yang sesungguhnya, dihargai, dicintai. Plus, mereka akan tahu
menghargai dan mencintai kehidupan ini, serta mengasihi orang tuanya
sebagaimana adanya.
Saudara, mari kita belajar bersama untuk menciptakan
anak-anak yang bertumbuh dan berkembang dalam cinta kasih; mengalami apa
itu dicintai dan mencintai. Karena inilah sesungguhnya makna dan tujuan
membangun keluarga yang sehat dan bahagia. (GI. Eddy
Fances-Indonesian Journal _ Sept. 2000)
Comments