Hari ketika saya (Anna) bertemu dengannya, Maral sedang terbaring
lemah di atas tempat tidur di rumahnya di pedalaman Azerbaijan.
Usianya sama dengan saya ... dan ia tengah sekarat akibat sakit
kanker tulang. Ibu Maral juga ada di sana. Saya menggenggam tangan
Maral dan menatapnya. Saya tidak tahu harus berbicara apa. "Saya
tidak ingin mati," ujar Maral lirih. Putrinya, Ziwa (yang berusia 4
tahun) bermain-main di dekat kami.
"Berapa anakmu?" tanya Nazilla, ibu Maral kepada saya. "Saya tidak
punya anak," jawab saya singkat, "Saya bahkan tidak tahu apakah bisa
memiliki anak atau tidak. Dokter mengatakan ada kelainan." "Tuhan
mampu memberikanmu seorang anak," Nazilla berkata-kata dengan penuh
kuasa ... sementara ia menunggui putrinya yang sedang menghadapi
saat-saat terakhir.
Satu tahun kemudian, saya mengunjungi umat Kristen di pelosok
Indonesia Timur. Salah satunya adalah Niche, seorang perempuan
dengan sorot mata yang penuh kasih ketika ia berbicara tentang
Tuhan. Saya terpesona oleh setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Putri Niche, Alfita, adalah satu dari gadis-gadis remaja yang
dibunuh oleh kelompok radikal 2 tahun sebelum pertemuan kami. Di
tengah tragedi yang menyedihkan ini, Niche telah memaafkan pembunuh
putrinya.
Ketika Niche bertanya kepada saya tentang anak, saya bergurau dan
berkata padanya kalau dia harus berdoa bagi saya karena ia sendiri
telah memiliki 7 orang anak. "Baik jika ada yang berdoa bagimu,"
kata Niche, "tapi kau juga harus berdoa bagi dirimu sendiri!"
Kemudian Niche berkata, "Bolehkan saya berdoa bagimu?" Ia
menggenggam tangan saya dan berdoa dalam bahasa Indonesia. Ketika
selesai, saya bertanya pada penerjemah apa yang ia katakan. "Ia
berdoa agar Tuhan menganugerahkan seorang anak bagimu," jawab si
penerjemah.
Beberapa tahun kemudian, saya menggendong Elecia, seorang bayi
perempuan mungil. Saya ingat pada Nazilla dan Niche ... bagaimana
mereka telah kehilangan putri mereka, namun mereka tetap berdoa bagi
saya. Tuhan menganugerahkan seorang putri untuk saya. Di tengah
segala pergumulan mereka, Nasilla dan Niche tetap percaya ... mereka
tetap berharap. Mereka membagikan hidupnya dan imannya pada saya.
Meskipun waktunya sangat singkat, mereka telah memperkaya kehidupan
saya.
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Nama buletin: Frontline Faith, Edisi Juli -- Agustus 2009
Penulis: Anne Scott
Penerjemah: Tim Open Doors Indonesia
Halaman: 4
Penerbit: Open Doors Indonesia, Jakarta 2009
lemah di atas tempat tidur di rumahnya di pedalaman Azerbaijan.
Usianya sama dengan saya ... dan ia tengah sekarat akibat sakit
kanker tulang. Ibu Maral juga ada di sana. Saya menggenggam tangan
Maral dan menatapnya. Saya tidak tahu harus berbicara apa. "Saya
tidak ingin mati," ujar Maral lirih. Putrinya, Ziwa (yang berusia 4
tahun) bermain-main di dekat kami.
"Berapa anakmu?" tanya Nazilla, ibu Maral kepada saya. "Saya tidak
punya anak," jawab saya singkat, "Saya bahkan tidak tahu apakah bisa
memiliki anak atau tidak. Dokter mengatakan ada kelainan." "Tuhan
mampu memberikanmu seorang anak," Nazilla berkata-kata dengan penuh
kuasa ... sementara ia menunggui putrinya yang sedang menghadapi
saat-saat terakhir.
Satu tahun kemudian, saya mengunjungi umat Kristen di pelosok
Indonesia Timur. Salah satunya adalah Niche, seorang perempuan
dengan sorot mata yang penuh kasih ketika ia berbicara tentang
Tuhan. Saya terpesona oleh setiap kata yang keluar dari mulutnya.
Putri Niche, Alfita, adalah satu dari gadis-gadis remaja yang
dibunuh oleh kelompok radikal 2 tahun sebelum pertemuan kami. Di
tengah tragedi yang menyedihkan ini, Niche telah memaafkan pembunuh
putrinya.
Ketika Niche bertanya kepada saya tentang anak, saya bergurau dan
berkata padanya kalau dia harus berdoa bagi saya karena ia sendiri
telah memiliki 7 orang anak. "Baik jika ada yang berdoa bagimu,"
kata Niche, "tapi kau juga harus berdoa bagi dirimu sendiri!"
Kemudian Niche berkata, "Bolehkan saya berdoa bagimu?" Ia
menggenggam tangan saya dan berdoa dalam bahasa Indonesia. Ketika
selesai, saya bertanya pada penerjemah apa yang ia katakan. "Ia
berdoa agar Tuhan menganugerahkan seorang anak bagimu," jawab si
penerjemah.
Beberapa tahun kemudian, saya menggendong Elecia, seorang bayi
perempuan mungil. Saya ingat pada Nazilla dan Niche ... bagaimana
mereka telah kehilangan putri mereka, namun mereka tetap berdoa bagi
saya. Tuhan menganugerahkan seorang putri untuk saya. Di tengah
segala pergumulan mereka, Nasilla dan Niche tetap percaya ... mereka
tetap berharap. Mereka membagikan hidupnya dan imannya pada saya.
Meskipun waktunya sangat singkat, mereka telah memperkaya kehidupan
saya.
Diambil dan disunting seperlunya dari:
Nama buletin: Frontline Faith, Edisi Juli -- Agustus 2009
Penulis: Anne Scott
Penerjemah: Tim Open Doors Indonesia
Halaman: 4
Penerbit: Open Doors Indonesia, Jakarta 2009
Comments